Tentang Pertemuan #1
https://c1.staticflickr.com |
Ting..Tung..
Aku mengambil ponselku, membaca bbm, dari Adam
rupanya.
“Besok aku ke Jakarta.”
“Oh ya? Berapa lama?” tanyaku kegirangan.
“Sepertinya tak lama, hanya tiga hari, atau
tergantung….”
“Tergantung pekerjaanmu?”
“Mungkin..”
“Lalu untuk apa kau memberitahuku?”
“Bukankah kamu ingin segera bertemu denganku?”
“Memangnya kamu tidak?”
“Ha..ha,,ha..” Kau hanya tertawa.
“Kenapa kamu hanya tertawa?”
“Sudah ya, nanti akan aku kabari lagi.”
Aku hanya membacanya, tanpa membalas. “Huhhh..selalu
saja ia berbuat seperti itu, seenaknya sendiri.” Ya, mungkin itu yang ada dalam
pikiranku saat ini.
Sekitar lebih dari setahun yang lalu, awal perkenalan
kami yang juga hanya melalui Blackberry Messenger. Kami dikenalkan oleh Tiara,
seorang sahabatku yang juga merupakan teman Adam sewaktu SMA di Jogja. Entah
apa yang sebenarnya ada dalam pikiran kami pada waktu itu, yang jelas ketika
berbicara dengan Adam, aku merasa nyaman, lalu apakah hanya sekedar nyaman?
Kurasa tidak, ada rasa yang lebih? Mungkin saja. Aku sendiri belum mengerti.
Pertemuan yang begitu kami inginkan, oh maaf maksudnya
pertemuan yang begitu aku inginkan rasanya hanya seperti bualan seorang perayu
kepada gadisnya, tak pernah nyata. Mungkin Adam tak bermaksud seperti itu
kepadaku, entahlah yang jelas hingga detik ini kami belum benar-benar bertemu.
Sementara hatiku tengah musim panen, panen rinduku untuk Adam.
Ting..Tung..
“Jenny, maaf aku harus pulang ke Jogja nanti sore, dan
besok aku harus kembali meeting di Semarang.”
“Lalu?”
“Maaf tentang pertemuan kita.”
“Iya, aku mengerti.”
“Terimakasih.”
Lagi-lagi aku hanya memandangi layar ponselku. Tak
bisa membalas. Dan lagi-lagi pertemuan kami gagal. Entah yang keberapa kalinya.
***
Dua minggu, tanpa satu pesan dari Adam, ternyata cukup
membuatku tersiksa. Aku menggenggam ponselku, mengetikkan sesuatu.
“Hei Adam, sedang apa? Apa aku mengganggu?”
“Hei Jen, aku sedang memikirkanmu.”
Aku terdiam.
“Hahaha.. Jenny, maaf aku hanya bercanda, jangan marah
ya?”
*mengirim emote senyum*
“Kapan rencanamu ke Semarang atau Jogja? Mungkin
dengan begitu kita bisa bertemu”
“Aku belum tahu, Adam”
“Aku akan mengajakmu sekedar jalan-jalan di Malioboro
atau kau mau ke Pantai? Kau mau ke Bukit Bintang?”
“Bukit Bintang? Aku belum pernah kesana, hanya mendengar
cerita dari beberapa teman”
Lalu kami larut dalam pembicaraan. Kau bercerita
tentang pekerjaanmu, keluargamu, juga rancangan masa depanmu, tentunya bersama
pasanganmu kelak.
Namun ada hal yang membuatku bimbang. Tentang kamu
yang hingga saat ini belum juga bisa memilih. Tentang orang tuamu yang berbeda
keyakinan. Tentang Ibumu yang keyakinannya sama denganku. Tentang Ayahmu yang
berbeda keyakinan dan bersikeras agar kedua anaknya mengikuti keyakinan beliau.
Kamu pernah bercerita bahwa kamu begitu mencintai
Ibumu, dan kamu begitu menghormati Ayahmu. Kamu bimbang hendak memilih yang
mana. Aku terdiam. Membayangkan bila aku berada pada posisimu. Manakah
keyakinan yang harus dipilih? Keyakinan Ibu atau keyakinan Ayah?
Komentar
Posting Komentar