Anuptaphobia #2


Kejadian seminggu lalu rupanya cukup menguras energi dan pikiranku, membuat nafsu makanku menghilang, bahkan sulit tidur. Ah rasanya semua itu terlalu berlebihan, pikirku. Berlebihan? Untuk seseorang yang belasan tahun hinggap dalam pikiranku? Kurasa itu tak berlebihan! Kembali aku berdialog dengan alam bawah sadarku.

Reza, mengapa kau terus membayangiku?


**

Aku membuka laptopku, mencoba untuk meneliti kembali laporan yang telah aku buat. Dari dalam kamar, aku lihat butiran hujan mulai memadati kaca jendela. Aku berhenti menatap laptopku, kemudian mengalihkan pandangan keluar jendela.

Terdengar suara mesin mobil terhenti di depan rumahku. Kemudian disusul dengan suara teriakan Ibu yang memanggil namaku – memberitahu bila ada tamu yang datang mencariku. Aku beranjak dari meja kerjaku. Tamu? Siapa yang mencariku disaat hujan lebat seperti ini?

Mataku terbelalak ketika mendapati Reza tengah berbincang dengan Ayah dan Ibuku di ruang tamu, ya ternyata orangtuaku masih begitu mengenal Reza, sehingga obrolan panjangpun tak terelakkan. Aku menanyakan bagaimana ia tau rumahku yang di Jakarta? Ia bilang, ia menanyakan hal tersebut kepada salah seorang teman kantorku. Dan aku pun menanyakan perihal kedatangannya. Dengan lugas ia menjawab – sekali lagi melamarku. Ayah dan Ibuku lantas meninggalkan kami, meninggalkan aku yang dilanda ketakutan, kebimbangan.

“Reza, datanglah tujuh hari lagi. Aku pasti akan berikan jawabannya.”

“Baiklah, aku akan datang, seminggu lagi, untuk meminta jawabanmu.” Ucap Reza dengan penuh ketenangan.

**

Pada sepertiga malam yang terbelah
Aku menggelar sajadah
Membenamkan wajah
Jari tangan menengadah
Tuhan, hanya kepadaMu aku berkisah
Hanya kepadaMu, aku berpasrah
Tunjukkan jalan agar aku tak salah langkah
Jadikan aku jiwa yang tabah
Pertemukan aku dengan kisah
: yang berakhir indah
Pada senyum yang kan merekah
Tiada terpisah
Hingga maut memecah arah

**

Seminggu berlalu, Reza datang sesuai dengan janji yang kami sepakati. Hatiku berdebar, kedua orangtuaku memberikan kebebasan padaku tentang keputusan yang akan aku ambil, bagi mereka apapun yang menjadi keputusanku, adalah yang terbaik untukku. Walau aku tahu mereka pasti begitu menginginkan aku segera mengabulkan mimpi-mimpinya – untuk segera menikah.

Beberapa menit pertama kedatangan Reza dihabiskan oleh basa-basi atau obrolan ringan. Hingga akhirnya sampailah pada obrolan yang dinantikan. Bibirku kaku, tanganku gemetar, namun tetap harus aku putuskan hari ini …

Aku mengangguk.

“Kamu masih takut untuk menikah, Audy?”

“Aku rasa tidak.”

“Sejak kapan?”

“Sejak aku bertemu lagi denganmu Rezaldi Jati Sastrowijoyo.”

Tawa kami pecah. Reza mengelus dadanya, terlihat begitu lega. Beban di pundakku pun terasa begitu ringan sekarang. Kedua orangtuaku mengucap syukur. Kali ini aku benar-benar yakin untuk menetapkan pilihan. Dan rasa takut yang biasa menghinggapi dadaku, rasanya lenyap terbawa angin, entah angin membawanya kemana, yang jelas aku tak ingin rasa itu datang lagi, menghantuiku. Selamat tinggal Anuptaphobia!

**

- TAMAT -

*Anuptaphobia adalah ketakutan menikahi orang yang tidak tepat. Fobia ini menakuti sekitar 50% wanita di dunia.


Ilustrasi : Anuptaphobia #2
30 Desember 2014

Komentar

  1. Balasan
    1. Pak Pical, jangan takut akan gelap... #eh itu lagu ding hahaha :D

      Hapus
  2. Baru tahu kalau ada phobia ini... hehehehe.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bu Maria, saya juga tahu info ini dari twitter, biar saya inget, saya bikin fiksinya sekalian hehe.. :D

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nostalgia pada Sebungkus Es Mambo

Kumpulan Fiksi Kilat (6 Kata)