Bintang Bahambur, Ombak Sinapur Karang


Karya Kolaborasi : Dyah Rina dan Putri Apriani.

Tia baru saja selesai sholat Ashar ketika Mak Idah, mamaknya, membuka pintu kamarnya.

“Tia….!”

“Inggih Mak!”

“Ikam sudah siapkah, Nak?”

“Siap kemana Mak, ai?”

“Kaya apa ikam ini? Ini hari Sabtu Nak, ai. Setiap Sabtu kan ikam setor kain ke wadah Haji Lukman. Lupa kah?”


“Ya ampun Mak, Tia lupa! Padahal ada dua kain yang harus Tia setor kesana.”

Tia Segera beranjak dari atas sajadahnya. Membuka lemari dan mengeluarkan dua lembar Sasirangan yang sudah dilipat rapi.

“Dua haja kah? Tanya Mak Idah. Tia mengangguk. “Kenapa?”

Tia terdiam. Pikirannya terpecah ke segala penjuru. Ada banyak hal yang ia pikirkan. Mamaknya yang sudah lama sakit, Bapaknya yang pergi entah kemana, juga ketiga adiknya yang masih butuh biaya untuk sekolah. Belum lagi uang semester genap yang harus ia bayar bulan depan.

Sudah tiga tahun ini Tia bekerja sebagai pengrajin kain Sasirangan menggantikan mamaknya yang mulai sakit-sakitan. Sebagian uang hasil penjualan kain ia berikan kepada mamaknya untuk keperluan sehari-hari, dan sebagian lagi ia tabung untuk biaya kuliahnya. Cukup? Tentu saja tidak. Tapi mau bagaimana? Walau hidup dalam keterbatasan, pendidikan adalahhal yang mutlak bagi Tia.

Setiap hari Sabtu, ia harus menyetorkan kain ke Rumah Sasirangan, sebuah toko kain sasirangan milik Haji Lukman, yang dikelola Hendra, anak bungsu sekaligus anak lelaki satu-satunya Haji Lukman.

Dan jika sudah menyebut nama Hendra, maka sederet pujian akan segera mengalir tanpa di minta dari bibir mungil Tia. Kak Hendra yang tampan, Kak Hendra yang begitu baik, Kak Hendra yang begitu ramah.

Ah, Tia membuang jauh-jauh pikirannya. Sudahlah Tia, kau ini siapa? Bisa-bisanya naksir Kak Hendra!

“Tia…..diajak ngomong malah bengong?!”

“Ah….eh….iya Mak. Minggu ini banyak tugas kuliah. Maka cuma sanggup dua ini,” kata Tia sambil merapikan rambutnya yang tergerai sebahu. Memasang bando warna ungu dan memoleskan bedak tipis di wajahnya.

“Tapi kok….. pinanya anak mamak wangi banar? Kada nang kaya biasa.”

“Ah Mamak ini lupa kah? Tia kan memang selalu wangi.” Ucap Tia tersipu malu.

“Udah ah Mak, Tia mau ketemu Kak Hendra dulu ya, eh maksud Tia, Tia mau ke Rumah Sasirangan dulu.”

“Iya, iya, ya udah sana kamu ke Rumah Sasirangan. Jangan lupa, pulangnya mampir kerumah Acil Eli ya, katanya ada yang mau dititip untuk Mamak.”

“Beres Mak! Tia berangkat dulu ya, Assalamualaikum.” Tia pun keluar kamar setelah mencium tangan mamaknya.

“Waalaikumsalam.”

***

“Assalamualaikum!” Tia mengucap salam saat sampai di depan Rumah Sasirangan. Nampak di matanya sosok yang selalu membuatnya kaganangan alias rindu dendam.

“Eh, Tia! Waalaikumsalam. Masuk Tia! Handak setor kain kah?” Senyum Hendra mengembang saat melihat Tia yang dimatanya sore itu terlihat sangat manis.

“Inggih Kak ai. Ulun maantar kain sasirangan minggu ini. Tapi maaf, hanya dua kain haja ulun sanggup.”

“Kada apa-apa Tia. Mmm….tapi untuk minggu depan ikam kawa lah maulah lebih banyak?”

“Berapa banyak Kak?” Kali ini mau tak mau Tia memandang wajah Hendra.”

“Sepuluh lembar. Banyak pelanggan disini nang katuju kain ulahan ikam.”

“Bujuran lah, Kak?”

“Iya. Tolong kau buat motif Iris Pudak, Sisik Tanggiling dan Turun Mayang, ya?”

“Inggih….. inggih Kak, akan ulun buat sesuai permintaan Kak Hendra.”

Wajah Tia gembira bukan main. Terbayang sudah berapa penghasilannya minggu depan. Cukup untuk menambah kekurangan uang semester.

“Baiklah kalau begitu saya permisi dulu Kak.”

“Sungsungnya?” kata Hendra spontan.

“Hah? Apa Kak?” Tia sempat menangkap ekspresi kecewa Hendra saat mendengarnya berpamitan.

“Ah, nggak. Hati-hati ya! Salam untuk Mamak.”

Tia hanya mengangguk, lalu mengucapkan salam dan berpamitan. Sementara di dalam tokonya Hendra menepuk dahinya sendiri menyadari kebodohan dan kegugupannya.

Hendra…..Hendra. Kapan kamu jadi pintar untuk urusan perempuan?

***

Tia benar-benar kewalahan. Kain pesanan yang biasanya hanya sanggup ia kerjakan maksimal hingga lima lembar dalam seminggu, kali ini harus bertambah lagi hingga sepuluh lembar dalam seminggu. Mau tak mau Tia harus melibatkan orang lain dalam pengerjaannya. Mamaknya, adik-adiknya, juga sahabatnya, Pitaloka.

Pitaloka bukannya tidak tahu ada sesuatu dengan sahabatnya itu. Tapi selama ini dia hanya diam meski beberapa kali mendapati Tia tengah mencuri pandang ke arah Hendra. Namun rupanya kali ini Pitaloka tak tahan lagi memendam rasa penasarannya.

“Belakangan ini kamu agak aneh.” Tanya Pitaloka usil. Malam itu mereka sedang melepas benang-benang mengikat dari kain-kain Sasirangan yang baru selesai dibuat.

“Aneh gimana?”

“Beberapa kali aku melihatmu sedang mencuri-curi pandang ke arah Kak Hendra, Hihihi..”

“Ah Pitaloka, jangan buat gosip ya!” Jawab Tia dengan muka memerah.

“Sudah, mengaku haja! Ikam katuju kalo lawan Kak Hendra?” Ujar Pitaloka.

“Kelihatan banar kah? Duuh……supan lah amun kaya ini….” Tia kembali tersipu.

Pitaloka lantas bercerita tentang Hendra. Makanan dan minuman kesukaannya, warna kesukaannya, dan segala hal tentang Hendra. Pitaloka mendukung sepenuhnya hasrat hati Tia pada kakak sepupunya itu. Meski demikian Pitaloka mengajukan satu syarat.

“Apa itu?”

“Kak Hendra orangnya peragu. Jadi kamu musti mulai duluan. Aku tahu sebenarnya dia juga suka sama kamu. Tapi…..ya itu tadi….” Pitaloka menggedikkan bahunya.

“Terus, kaya apa caranya? Pantas lah binian bilang suka duluan?”

“Nggak harus pakai mulut kan?”

Tia mendesah. Aku musti gimana?

***

Rumah Sasirangan, seminggu Kemudian.

“Ini sepuluh kain sasirangan pesanan Kak Hendra, silahkan dilihat dulu.” Ucap Tia sambil menyerahkan kain sasirangan tersebut pada Hendra.

Seperti biasa Tia hanya menunduk malu. Menyimpan wajahnya yang sungguh ayu. Andai saja Hendra tau. Ada segenggam rasa yang Tia simpan semenjak dahulu. Adakah selembar saja rindu? Yang mengalun syahdu bagai irama lagu?

“Oke, sudah sepuluh kain, sesuai dengan pesanan. Tunggu sebentar ya. Saya ambilkan upah kamu minggu ini.”

Hendra Kemudian meninggalkan Tia sendirian. Kesempatan yang tak disia-siakan Tia untuk menyelipkan selembar kain lagi diantara tumpukan kain yang tadi diserahkan pada Hendra.

Tepat saat Tia selesai beraksi, Hendra datang dan memberikan sebuah amplop berisi beberapa lembar ratusan ribu.

“Kok lebih Kak?” Tanya Tia tak paham.

“Bonus. Karena kamu sanggup menyelesaikannya tepat waktu.”

“Oh…Kalau begitu terima kasih banyak, Kak. Permisi, Assalamu’alaikum…!” Tia pun berdiri dan melangkah keluar toko. Sementara Hendra hanya sanggup menjawab salamnya, meski sesungguhnya jutaan kata ingin sekali ia sampaikan. Lagi-lagi Hendra hanya bisa mengeluh dalam hatinya. Dasar pengecut!

Tapi Hendra tidak ingin berlama-lama menyesali kepengecutannya. Tugas di toko untuk mengatur kain-kain setoran dari Tia sudah menunggu. Kain-kain semi sutera itu satu demi satu diatur dalam etalase sesuai dengan motifnya.

“Lho…..kok ada Bintang Bahambur? Rasanya kemarin cuma pesan tiga motif?” Hendra mengernyitkan dahi saat melihat selembar kain yang tidak sesuai pesanan. Selain tidak sesuai motifnya, kain itu juga terbungkus rapi dalam plastik.

Hendra Kemudian menghitung lagi kain yang disetorkan Tia.

“Bener kok, sepuluh lembar. Lalu yang ini…..?” Hendra membolak-balik bungkusan kain warna biru itu sebelum akhirnya memutuskan membuka bungkusnya.

Selembar kertas terjatuh saat Hendra membuka lipatan kainnya. Ada selarik puisi tertulis di dalamnya.

Bintang Bahambur……semarakkan kelam langit di ufuk Timur. Sudikah tuan menjadi yang paling terang? Akan kubingkai agar hatiku benderang. Semoga berkenan.

Hendra tertegun. Meski samar Hendra bisa menebak bahwa itu ungkapan perasaan Tia untuknya. Dari motif dan warna yang dipilihnya juga larikan puisi di dalamnya. Semua mengatakan itu. Bintang Bahambur adalah motif sasirangan kesukaan Hendra sementara warna biru adalah warna favoritnya.

“Tapi, apa benar Tia menyimpan rasa untukku? Lantas…..dari mana dia tahu semua ini?”

Cukup lama Hendra hanya tertegun. Sampai akhirnya dia memilih untuk menyimpan kain istimewa Itu di lemari pakaiannya. Sebuah rencana sudah tersusun di benaknya.

***
Tia bergegas meninggalkan kampus begitu kuliah selesai. Ajakan teman-temannya untuk makan siang tidak dihiraukannya. Tadi pagi dia sudah memesan hintalu itik masak habang pada mamaknya. Tia yakin menu sederhana itu jauh lebih nikmat dari makanan mewah manapun.

Sampai di rumah, Tia dikejutkan dengan sebuah bungkusan yang tergeletak di atas meja kamarnya. Bungkusan berwarna pink dan berpita itu nampak sangat manis. Kata Mamak, tadi ada yang mengantarkan bungkusan Itu untuknya.

‘UNTUK TIA’. Demikian tulisan dengan huruf besar  tertera di atas bungkusan misterius itu. Dengan hati-hati Tia membukanya, dan seketika matanya melebar saat melihat isinya.

Selembar kain Sasirangan warna ungu favoritnya bermotif Ombak Sinapur Karang kesukaaannya. Spontan Tia membawa kain Itu ke depan cermin dan menempelkan di tubuhnya. Membayangkan gaun model apa yang akan dibuat dengan kain itu.

Selembar kertas kecil nampak melayang dari sela lipatan kain itu. Tia memungutnya dari lantas. Beberapa kalimat yang tertulis di sana membuat Tia terpana.

Ombak sinapur karang, membawa kabar untuk yang tersayang. Bila ading ridho dan berkenan, uma wan abah handak badatang. Would you marry me Tia?

Tia makin terpana. Perasaannya campur aduk antara senang cintanya berbalas, bingung karena berlalu cepat, juga dag dig dug karena ingin dilamar. Tapi sebelum usai dengan semua hal mengejutkan itu, ponsel jadul Tia berbunyi. Sebuah pesan singkat mampir ke ponselnya.

Bintang bahambur ombak sinapur karang. Cinta yang melebur tak akan pernah lekang.

Kebahagiaan Tia terasa sempurna.

**
Segumpal rasa.
Mengepal merasuk raga.
Aku menyebutnya dengan – cinta.
Perlukah lagi aku mengeja?
Bila kau bukan sekedar aksara?

**

Catatan :

Kilas Budaya Banjar:
Kain Sasirangan adalah kain khas Kalimantan Selatan yang ditemukan sejak Lambing Mangkurat masih menjadi adipati Negara Daha. Pada masa lampau kain sasirangan digunakan untuk pengobatan dan dipercaya memiliki kekuatan gaib.

Glossary
* Ombak Sinapur Karang : ombak menerjang karang.
* Bintang Bahambur : Bintang bertaburan
* Inggih : iya
* Ulun : saya
* Ikam : kamu
* Pinanya : kelihatanya
* Kada nang kaya biasa : nggak seperti biasanya
* Sungsung : buru-buru
* Bujuran : beneran/serius
* Wadah : tempat/rumah
* Katuju : tenang
* Ulah/maulah/ulahan : buat/membuat/buatan
* Ading : adik
* Uma abah : ibu bapak
* Badatang : lamaran
* Binian : perempuan
* Hintalu itik masak habang : telur itik yang dibuat menjadi menu masak habang khas Banjar.
* Supan lah amun kaya ini : malu lah kalau kayak gini

-- oOo—

Ilustrasi : Kain Sasirangan
10 Januari 2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nostalgia pada Sebungkus Es Mambo

Kumpulan Fiksi Kilat (6 Kata)