Segenggam Hati Rania
Karya Kolaborasi : Putri Apriani dan Dyah Rina
Entah untuk keberapa kalinya mata Surya kembali menelusuri
baris demi baris dalam lembaran yang sudah mulai lusuh itu. Sesungguhnya ia
makin hafal isinya dari waktu ke waktu. Tapi ia selalu ingin mengulanginya lagi
dan lagi. Mencoba untuk memperlebar luka dalam hatinya yang terus mengucurkan
darah. Mencoba untuk mencari penebusan yang tepat untuk keseluruhan
kesalahannya selama ini.
Untuk kesekian kalinya airmatanya luruh. Untuk kesekian
kalinya ia terisak hebat. Rania…, rintihnya pilu. Walau tatapannya mengabur
tapi masih bisa dibacanya kalimat-kalimat dalam surat lusuh itu.
Untuk Ayah yang begitu aku cintai,
Bibir ini seakan bisu bila
berhadapan denganmu. Terkadang aku berpikir, adakah kebencian yang kau tanam
kepadaku? Jika iya, tolong katakan apa sebabnya? Masihkah kau menganggapku
darah dagingmu? Ah, mungkin ini hanya pikiran kotorku saja. Aku ini masih
anakmu kan? Iya, kurasa aku masih anakmu. Kita masih tinggal dalam satu atap
yang sama, itu sudah lebih cukup menjelaskan bahwa aku masih kau anggap sebagai
anak. Satu atap tanpa kata, sungguh membosankan, dan pasti juga membuatmu makin
kesepian selepas kepergiannya, kekasih hatimu itu.
Tetesan hujan yang menderas di luar sana menggemakan
nada-nada liris yang kian mendera hati Surya. Ya, aku membencimu, PERNAH
membencimu… Pelan ia mengusap airmatanya.
Lalu aku bisa apa? Haruskah aku
berbicara menceritakan setiap kejadian yang aku alami setiap harinya, seperti
dulu aku menceritakannya kepada kekasihmu? Aku bukan tidak pernah mencobanya,
bukan? Aku pernah mencobanya beberapa kali, dan kau hanya menjelaskan kesunyian
yang semakin akrab denganmu. Waktu itu aku berpikir, mungkin ada baiknya bila
aku memberikan waktu untukmu, untuk menenangkan diri mungkin? Ya, aku memberimu
segenap waktu untuk menyendiri, hingga akhirnya aku lupa, aku lupa bila kau
terus menyendiri, dan kau semakin menikmati kesendirianmu, tanpa sadar bahwa
aku selalu ada disampingmu, mencoba mendukung apa yang menjadi inginmu, itupun
bila kau mau.
Surya menatap ke arah jendela. Dan seolah Rania-nya sedang
duduk di sana, di depan jendela. Menatap tiap tetes air hujan yang jatuh
menghujam permukaan bumi. Menghitungnya satu-satu. Dalam hening yang menulikan
telinga.
Aku tertunduk melihat keriput di
wajahmu yang mulai menyebar, juga rambut putihmu itu, semakin banyak ya? Kadang
aku menyesali mengapa banyak waktu yang terbuang begitu saja, mengapa hanya
diam dan diam yang selalu mewarnai hari kita, Ayah? Tidakkah cukup kepergian
Abang dan Ibu membawa luka? Dan seharusnya kita bisa belajar dari kejadian
tersebut. Cukuplah kepergian mereka. Aku tak ingin kehilangan lagi. Cukuplah
keheningan yang kita ciptakan, jangan teruskan lagi. Sungguh aku ingin
mengucapkannya, walau begitu sulit. Aku cinta padamu, Ayah, sangat mencintaimu…
Surya mengerjapkan matanya yang terus membasah. Bayangan
Rania di depan jendela sudah buyar. Berganti dengan bayangan sosok mungil yang
terus-menerus menangis di atas dua gundukan tanah merah yang masih basah.
Memanggil-manggil ibunya. Memanggil-manggil abangnya.
Jam berdetak, hari berlalu, bulan
berlari, dan kau seperti semakin asyik dengan kesendirianmu. Aku di sini menantimu seperti rembulan yang
menantikan pagi. Ketika engkau membaca surat ini semoga aku masih mampu
bernafas dan mencium tanganmu bahkan bersujud di kakimu. Namun bila sebaliknya,
aku memohon maaf karena tak lagi dapat bersamamu, aku ingin menemui Ibu, berkumpul
dengannya juga dengan Abang, iya, dia anakmu juga kan, Ayah?
Radyan dan Rania, dua permata hatinya. Tapi jauh di dalam
hatinya, Radyan adalah segala tumpuan harapannya. Anak laki-laki yang sangat ia
harapkan kehadirannya dalam pernikahan bahagianya dengan Prastuti. Dan Rania
hadir kemudian. Melengkapi kebahagiaan itu. Walau tetap saja Radyan adalah raja
di hatinya.
Ketika kecelakaan itu merenggut Radyan dan melukai Rania,
luka hatinya tak pernah sembuh. Apalagi ketika jantung Prastuti ikut berhenti
berdetak hanya sesaat setelah mendengar berita itu. Hidupnya hancur. Dan
satu-satunya kambing hitam hanyalah Rania.
Seandainya Rania tidak meminta Radyan mengantarnya berangkat
les sore itu… Seandainya Radyan tak terlalu sayang pada Rania… Seandainya Rania
saja yang pergi, bukan Radyan… Seandainya Prastutinya masih ada… Dan ribuan
seandainya lain yang makin membuat Rania dipurukkannya dalam diam dan hening
yang menyakitkan.
Ayah, maaf bila selama ini aku
menyimpannya. Itu karena aku tak ingin lagi merepotkanmu. Maaf, Ayah, aku harus
pergi bersama leukemia yang telah aku derita selama beberapa tahun belakangan
ini. Maaf bila aku tak memberitahumu.
Gadismu,
yang begitu mencintaimu
Rania Safira
Surya tergugu dalam kubangan penyesalan yang begitu dalam.
Ia hanya bisa terduduk sambil membawa lembaran lusuh itu ke dadanya. Ingin ia
melolong, melepas semua rasa sesak yang membuat hatinya seolah terpenjara dalam
gelap. Tapi yang keluar dari mulutnya hanyalah isak tertahan.
Ia lelah. Terlalu lelah. Lelah menata hati melalui hari
ke-101 tanpa Rania. Rania-nya yang selama ini hadir dalam heningnya. Dan kini
keheningan itu sudah sempurna.
Ditatapnya cermin. Sejenak bayangan di dalamnya retak dan
mengabur. Berganti dengan kegelapan di mana ada senyum Prastuti di dalamnya.
Ada tawa Radyan di dalamnya. Ada uluran tangan Rania di dalamnya.
Uluran tangan yang disambutnya tanpa mau berpikir apa-apa
lagi. Lalu mereka berpelukan. Berempat. Bersama. Lalu hujan di luar menderas.
Senja mendingin. Hari menggelap. Dan rumah itu menghening…
Sumber Ilustrasi : Segenggam Hati Rania
Dengan sangat berat hati, saya harus menghapus salah satu nama kontributor dalam cerpen ini sesuai dengan permintaan beliau (yang bersangkutan).
Dengan sangat berat hati, saya harus menghapus salah satu nama kontributor dalam cerpen ini sesuai dengan permintaan beliau (yang bersangkutan).
3 Desember 2014
uhuk! speechless :(
BalasHapusMas Ryan, saya lagi nunggu banget nih karya kolaborasi mas ryan sama tante lis, uhuk! :D
HapusWah cerita mellow ya...
BalasHapusPak Pical, huum, melly goeslow #maksa :D
Hapus