Segenggam Hati Rania

14175862401146601925

Karya Kolaborasi : Putri Apriani dan Dyah Rina

Entah untuk keberapa kalinya mata Surya kembali menelusuri baris demi baris dalam lembaran yang sudah mulai lusuh itu. Sesungguhnya ia makin hafal isinya dari waktu ke waktu. Tapi ia selalu ingin mengulanginya lagi dan lagi. Mencoba untuk memperlebar luka dalam hatinya yang terus mengucurkan darah. Mencoba untuk mencari penebusan yang tepat untuk keseluruhan kesalahannya selama ini.


Untuk kesekian kalinya airmatanya luruh. Untuk kesekian kalinya ia terisak hebat. Rania…, rintihnya pilu. Walau tatapannya mengabur tapi masih bisa dibacanya kalimat-kalimat dalam surat lusuh itu.

Untuk Ayah yang begitu aku cintai,
Bibir ini seakan bisu bila berhadapan denganmu. Terkadang aku berpikir, adakah kebencian yang kau tanam kepadaku? Jika iya, tolong katakan apa sebabnya? Masihkah kau menganggapku darah dagingmu? Ah, mungkin ini hanya pikiran kotorku saja. Aku ini masih anakmu kan? Iya, kurasa aku masih anakmu. Kita masih tinggal dalam satu atap yang sama, itu sudah lebih cukup menjelaskan bahwa aku masih kau anggap sebagai anak. Satu atap tanpa kata, sungguh membosankan, dan pasti juga membuatmu makin kesepian selepas kepergiannya, kekasih hatimu itu.

Tetesan hujan yang menderas di luar sana menggemakan nada-nada liris yang kian mendera hati Surya. Ya, aku membencimu, PERNAH membencimu… Pelan ia mengusap airmatanya.

Lalu aku bisa apa? Haruskah aku berbicara menceritakan setiap kejadian yang aku alami setiap harinya, seperti dulu aku menceritakannya kepada kekasihmu? Aku bukan tidak pernah mencobanya, bukan? Aku pernah mencobanya beberapa kali, dan kau hanya menjelaskan kesunyian yang semakin akrab denganmu. Waktu itu aku berpikir, mungkin ada baiknya bila aku memberikan waktu untukmu, untuk menenangkan diri mungkin? Ya, aku memberimu segenap waktu untuk menyendiri, hingga akhirnya aku lupa, aku lupa bila kau terus menyendiri, dan kau semakin menikmati kesendirianmu, tanpa sadar bahwa aku selalu ada disampingmu, mencoba mendukung apa yang menjadi inginmu, itupun bila kau mau.

Surya menatap ke arah jendela. Dan seolah Rania-nya sedang duduk di sana, di depan jendela. Menatap tiap tetes air hujan yang jatuh menghujam permukaan bumi. Menghitungnya satu-satu. Dalam hening yang menulikan telinga.

Aku tertunduk melihat keriput di wajahmu yang mulai menyebar, juga rambut putihmu itu, semakin banyak ya? Kadang aku menyesali mengapa banyak waktu yang terbuang begitu saja, mengapa hanya diam dan diam yang selalu mewarnai hari kita, Ayah? Tidakkah cukup kepergian Abang dan Ibu membawa luka? Dan seharusnya kita bisa belajar dari kejadian tersebut. Cukuplah kepergian mereka. Aku tak ingin kehilangan lagi. Cukuplah keheningan yang kita ciptakan, jangan teruskan lagi. Sungguh aku ingin mengucapkannya, walau begitu sulit. Aku cinta padamu, Ayah, sangat mencintaimu…

Surya mengerjapkan matanya yang terus membasah. Bayangan Rania di depan jendela sudah buyar. Berganti dengan bayangan sosok mungil yang terus-menerus menangis di atas dua gundukan tanah merah yang masih basah. Memanggil-manggil ibunya. Memanggil-manggil abangnya.

Jam berdetak, hari berlalu, bulan berlari, dan kau seperti semakin asyik dengan kesendirianmu. Aku di sini menantimu seperti rembulan yang menantikan pagi. Ketika engkau membaca surat ini semoga aku masih mampu bernafas dan mencium tanganmu bahkan bersujud di kakimu. Namun bila sebaliknya, aku memohon maaf karena tak lagi dapat bersamamu, aku ingin menemui Ibu, berkumpul dengannya juga dengan Abang, iya, dia anakmu juga kan, Ayah?

Radyan dan Rania, dua permata hatinya. Tapi jauh di dalam hatinya, Radyan adalah segala tumpuan harapannya. Anak laki-laki yang sangat ia harapkan kehadirannya dalam pernikahan bahagianya dengan Prastuti. Dan Rania hadir kemudian. Melengkapi kebahagiaan itu. Walau tetap saja Radyan adalah raja di hatinya.

Ketika kecelakaan itu merenggut Radyan dan melukai Rania, luka hatinya tak pernah sembuh. Apalagi ketika jantung Prastuti ikut berhenti berdetak hanya sesaat setelah mendengar berita itu. Hidupnya hancur. Dan satu-satunya kambing hitam hanyalah Rania.

Seandainya Rania tidak meminta Radyan mengantarnya berangkat les sore itu… Seandainya Radyan tak terlalu sayang pada Rania… Seandainya Rania saja yang pergi, bukan Radyan… Seandainya Prastutinya masih ada… Dan ribuan seandainya lain yang makin membuat Rania dipurukkannya dalam diam dan hening yang menyakitkan.

Ayah, maaf bila selama ini aku menyimpannya. Itu karena aku tak ingin lagi merepotkanmu. Maaf, Ayah, aku harus pergi bersama leukemia yang telah aku derita selama beberapa tahun belakangan ini. Maaf bila aku tak memberitahumu.

Gadismu,
yang begitu mencintaimu
Rania Safira

Surya tergugu dalam kubangan penyesalan yang begitu dalam. Ia hanya bisa terduduk sambil membawa lembaran lusuh itu ke dadanya. Ingin ia melolong, melepas semua rasa sesak yang membuat hatinya seolah terpenjara dalam gelap. Tapi yang keluar dari mulutnya hanyalah isak tertahan.

Ia lelah. Terlalu lelah. Lelah menata hati melalui hari ke-101 tanpa Rania. Rania-nya yang selama ini hadir dalam heningnya. Dan kini keheningan itu sudah sempurna.

Ditatapnya cermin. Sejenak bayangan di dalamnya retak dan mengabur. Berganti dengan kegelapan di mana ada senyum Prastuti di dalamnya. Ada tawa Radyan di dalamnya. Ada uluran tangan Rania di dalamnya.

Uluran tangan yang disambutnya tanpa mau berpikir apa-apa lagi. Lalu mereka berpelukan. Berempat. Bersama. Lalu hujan di luar menderas. Senja mendingin. Hari menggelap. Dan rumah itu menghening…

Sumber Ilustrasi : Segenggam Hati Rania


Dengan sangat berat hati, saya harus menghapus salah satu nama kontributor dalam cerpen ini sesuai dengan permintaan beliau (yang bersangkutan).



3 Desember 2014

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nostalgia pada Sebungkus Es Mambo

Kumpulan Fiksi Kilat (6 Kata)