Lelaki yang Menunggu Jingga di Langit Candi
http://2.bp.blogspot.com/ |
Kubiarkan detik yang
berdetak temani sepiku. Kubiarkan pula angin yang bertiup sambil mengusap-usap
rambutku yang mulai agak basah karena sebaran keringat. Energi mentari siang
ini begitu kuat menyengat. Aku berjanji menunggu jingga disini. Menatap jingga di
langit Candi Merak memang begitu menawan hati.
***
Seratus delapan puluh tujuh
hari, sekitar lima puluh empat menit yang lalu, kita pernah menyusuri jalan
setapak diantara candi. Mencoba menikmati siulan burung gereja yang bernyayi,
mengikuti jejak tapak yang telah kita lalui, rasanya enggan berlalu.
Kau ingat? Ketika senja
mulai tiba, aku menggenggam tanganmu, mencoba ungkapkan beberapa patah kata
yang begitu sulit aku ucapkan sebelumnya – sedari dulu. Rasa itu sudah lama
bersarang dalam hatiku. Aku tak ingin terlambat, takut kamu diambil orang – begitu pikirku.
Mungkin terdengar lucu, tapi tidak bagiku yang telah tersiksa selama
bertahun-tahun. Aku ingin lebih, bukan hanya sekedar sahabat.
Kamu tak menjawab. Kita
hanya saling berpandangan, diam. Kemudian mentari dengan malu-malu
memberitahukan kita bahwa ia akan tenggelam.
Baiklah aku takkan
membiarkan kita ikut tenggelam bersama mentari yang telah lelah menjalani
tugasnya. “Kamu lapar kan?” tanyaku padamu. Kau hanya
tersenyum manis, senyuman khas gadis jawa, selalu tampak malu-malu walau kita
adalah kawan lama, bukan dua orang yang baru saja saling mengenal.
Aku tahu makanan faforitmu
sedari dulu. Sop Ayam Pak Min dan Ayam Panggang khas Klaten. Maka tanpa
pikir panjang akupun mengajakmu ke kedua tempat tersebut. Disana aku bisa
melihatmu makan dengan lahap, tanpa malu-malu, kemudian di pinggir bibir
mungilmu ada beberapa butir nasi yang menempel, aku mengambilnya dengan lembut,
mukamu memerah. Hal yang sungguh sederhana namun begitu aku nantikan.
“Kamu tahu, selain
Magelang, Klaten juga punya getuk yang khas?”. Tanyaku.
“Belum, getuk apa?”
“Getuk Kurung Pedan, yuk
kita kesana?” Aku beranjak, menggandeng tanganmu menuju motorku, kami bersiap
menuju kios kecil tepi Jalan Karangwuni Pedan. Kira-kira tiga kilometer barat
pertigaan Karangwuni Jalan Yogya-Solo.
Sesampainya di sana aku membeli beberapa kotak Getuk
Kurung Pedan, sebagian untukku, sebagian lainnya lagi untukmu. Getuk ini memang
cukup menggugah selera, ada rasa cokelat manis, ada pula yang berbentuk gulung
isi selai nanas. Getuk tersebut dihidangkan dengan kelapa parut dan gula halus
untuk menambah rasa.
Aku menanyakan kembali
perihal rasa yang telah aku ungkapkan sekitar dua jam yang lalu. Engkau seperti
tak berkutik, entah tak mampu menjawabnya atau memang sedang menyimpan sesuatu
hal. Dan akhirnya bibirmu yang merah itu membuka percakapan dengan beberapa
kalimat.
“Adit, minggu depan aku
harus ke Jakarta untuk menyelesaikan pekerjaanku selama beberapa bulan di sana.” Begitu katamu.
“Lalu? Apakah kamu tak bisa
menerima cintaku?”
“Aku tak bisa menjawabnya
sekarang, maafkan aku……”
Aku menghela napas panjang,
hingga akhirnya kau membuka percakapan kembali.
“Maukah kau menungguku?
Mungkin ini akan terasa konyol bagimu.”
“Bagiku tak ada hal yang
konyol jika itu terkait tentangmu, aku telah menunggu bertahun-tahun untuk
mengungkapkan hal yang begitu sulit aku ucapkan, maka aku takkan keberatan bila
harus menunggu lagi, menunggu kepastian darimu.” Aku coba memastikan. “Berapa
bulankah aku harus menunggu?”
“Sekitar enam bulan”
“Baiklah” Aku menyetujui
permintaanmu. Kamu mengangguk.
***
Senja sepertinya akan
menyapaku sebentar lagi. Dan yang kunantikan terlihat dari kejauhan,
melambaikan tangan dengan melempar senyum manisnya. Ya, itu jingga, kini jingga
yang kunanti telah datang.
“Hei nona manis, rasanya
aku telah kehabisan kesabaran untuk menunggu kepastian cinta darimu.” Tanpa basa-basi aku menagih janjimu
enam bulan yang lalu. Untuk menjawab segala perasaanku.
“Tuan Adit, apakah perlu
lagi untuk aku menjawab segala pertanyaanmu enam bulan yang lalu?”
Dahiku berkerut. “Maksudmu
apa?”
“Menurutmu?”
“Aku sedang tak ingin
bergurau”
“Perasaanku masih sama
seperti enam bulan yang lalu”. Jawabmu dengan tawa-tawa kecil
“Aku tak mengerti”
“Perasaanku masih sama
seperti enam bulan yang lalu, bahkan pada bulan-bulan dan tahun-tahun
sebelumnya. Perasaanku sama dengan perasaanmu. Perasaan kita sama, sepertinya
kau tak perlu tanyakan lagi maksudku”
“Lalu mengapa kau meminta
aku untuk menunggumu?”
Kau tampak tertawa lagi,
aku semakin merasa aneh.
“Aku hanya ingin menguji
kesetianmu” Jarimu menyentuh hidungku seperti sedang menggodaku, kemudian
berlari meninggalkan aku.
“Jingga, apa
maksudmuuuuuuuuuu..?!!”
Kami berkejaran, saling tertawa.
Aku mengawal senja di langit Candi Merak, bersama Jingga disampingku. Kepada
gadisku, Jingga Syafira
Dania, terimakasih atas
kesempatan mewah yang telah kau berikan untukku.
8 Juni 2014
Komentar
Posting Komentar