Postingan

Menampilkan postingan dengan label cerpen

[FF 200 Kata] Desa Kerdil

Gambar
Desa Kerdil. Satu kali berbuat dosa, tinggi badanmu akan bertambah 1 cm. Sesuai dengan sebutannya, Desa Kerdil berisi orang-orang yang bertubuh kerdil. Namun kerdil tak menjadikan pikiran mereka juga kerdil, justru sebaliknya, mereka menjunjung tinggi nilai-nilai kebaikan. Berbeda lagi dengan desa sebelah, yaitu Desa Impian. Tinggi adalah definisi cantik di desa tersebut. Padahal cantik di mata Tuhan bukanlah perkara fisik, melainkan hati. Hanya saja itu semua telah membutakan hati mereka. Banyak wanita-wanita dari Desa Impian yang datang ke Desa Kerdil hanya untuk menggoda dan merebut para pria-pria di sana, bahkan yang telah beristri sekalipun. Maka tak heran, kegundahan hati para wanita di Desa Kerdil membuat kericuhan yang kemudian berakibat fatal. Kini mereka justru berlomba-lomba berbuat dosa. Ada yang mencuri pakaian di toko, ada yang menghina kaum sesamanya, ada yang menelantarkan anak-anaknya, bahkan yang teramat menyedihkan, mereka rela saling membunuh, demi

[Cerpen] Robusta Terakhir

Gambar
You can’t buy happiness, but you can buy coffee. And that’s pretty close . “Ini untukmu, robusta favoritmu,” aku menyodorkan beberapa kemasan kopi robusta favoritmu. Aku baru saja pulang dari Temanggung setelah beberapa hari ada pekerjaan dan menginap di sana. Temanggung memang dikenal sebagai salah satu produsen kopi terbesar di Jawa Tengah. Dan robustanya terkenal dengan aroma yang lebih harum dibandingkan dengan robusta yang berasal dari daerah lainnya, cita rasa kopi ini tak akan ditemukan pada cita rasa kopi di daerah lainnya. “Ini favorit kitaaaaa!” ucapmu setengah berteriak. Kamu mulai bergegas ke pantry, mengambil dua buah cangkir kemudian meracik robusta tersebut untuk kita. “Secangkir robusta untukku, dan secangkir lagi untukmu,” kamu meletakkan secangkir kopi itu persis di depanku. “Oh iya, secangkir kopi yang ini telah aku tambahkan dengan beberapa sendok cinta,” lanjutmu. “Jadi secangkir kopi yang akan aku minum terdiri dari 50% robusta asli, dan 50

[Cerpen] Rokok Membunuhmu

Gambar
Peringatan! Rokok membunuhmu. Bungkus pertama aku baik-baik saja. Bungkus kedua aku masih hidup. Bungkus ketiga aku belum juga mati. Bungkus keempat aku mulai terluka. Bungkus kelima, jika luka berlanjut hubungi Tuhan. Barry merintih menahan perih. Puntung-puntung rokok tergeletak di samping tubuh mungilnya. Bulan depan usianya menginjak angka delapan. Entah sudah berapa banyak puntung rokok yang melukai tubuhnya. Lelaki bertubuh kekar itu terus menerus menempelkan puntung demi puntung rokok ke tubuh Barry. "Ampun Om, sakit Om." "Ngapain aja lo seharian cuma dapet uang segini, hah?!!" Barry masih berusaha keras menghubungi Tuhan. "Tuhan, aku ingin bertemu dengan-Mu, aku benci puntung rokok-rokok ini, bisakah Kau panggil aku sekarang?" Tuhan tak menjawab. Bungkus keenam air matanya mengalir makin deras. Bungkus ketujuh napasnya masih tersisa. Bungkus kedelapan puntung-puntung rokok itu berhasil mengantarkannya bertemu dengan Tuhan.

[Cerpen] Sepucuk Surat dari Tuhan

Gambar
Sabtu malam, November di minggu pertama, di sebuah taman yang remang-remang, bibirmu dan bibirnya menyatu. Security bertubuh merah dan bertanduk dua itu tengah berjaga, merayu kalian untuk menjiwai gairah muda yang meletup-letup. Pukul tiga dini hari, security itu masih setia menemani kalian dan muda-mudi lainnya yang tengah berpadu kasih. Makin malam maka semakin banyak sepasang kekasih yang datang, menikmati waktu berjam-jam namun tetap terasa singkat. Yah, begitulah risiko jatuh cinta. Selama apapun akan terasa singkat. Pukul empat, ayam mulai berlomba menuju garis finish, perlombaan mengepakkan sayap dan seriosa, itu lumrah terjadi setiap hari. Sepucuk surat datang dari langit, tanpa ada seseorang yang mengantarnya dan tanpa ada perangko di sudut atas amplopnya. Mereka yang tengah terbuai nafsu lantas membuka surat tersebut, kemudian membacanya dengan seksama. Rupanya surat dari Tuhan: “dan jangan sekali-kali kalian membuat Aku cemburu, sesungguhnya ada jalan

[Cerpen] Wanita-wanitamu

Gambar
Lagi-lagi kau sebut nama mereka, wanita-wanita yang dekat denganmu, wanita-wanita yang begitu mengagumi & tergila-gila padamu beberapa bulan belakangan ini. Bisakah kau diam barang sehari saja, tanpa menceritakan mereka di hadapanku? Aku ini kekasihmu, wajar saja bila cemburu mendengarmu dekat dengan yang lain. Kemarin kau baru saja menceritakan Nycta yang tempo hari pitanya berganti-ganti warna. Lalu Lydia yang kau ajak makan malam bersama di sebuah restoran mewah di pinggir pantai. Kemudian ada Anjani yang kau belikan kalung dengan ukiran nama di liontinnya. Kau bilang aku tak perlu cemburu pada mereka. Apa kau gila? Kau anggap aku ini siapa? Kau bahkan telah melamarku dua minggu yang lalu. Tapi hal itu juga tak mengubah kebiasaanmu untuk tetap dekat dengan mereka. "Kau benar yakin akan menikahiku?" tanyaku penasaran. Kau menjawab iya sambil tersenyum, memperlihatkan lesung pipi di bagian kanan dan kiri. "Lantas bagaimana dengan Nycta? Lydi

[Cerpen] Lisptik untuk Raisa

Gambar
Hati-hati, satu titik cemburu bisa menghasilkan sepercik api. Dua titik cemburu bisa menghasilkan dua percik api, dan begitu seterusnya. Langkah Deryl akhirnya berbelok ke sebuah toko kosmetik yang terletak di dekat eskalator lantai 3. Pada sebuah etalase berjajar lipstik berbagai warna, dari harga terjangkau hingga harga yang tak wajar. Nude, ruby, safir, amethyst, peach, berry, red chili, pink, blackcurrant, coffe , dan masih banyak lagi. "Ini yang membuatku selalu lemah dalam memilih, pilihan warnanya terlalu banyak," ungkap Deryl sambil menghela napasnya. "Kamu pintar memilih istri, tapi mengapa bodoh sekali dalam memilih barang seperti ini?" Wanita di samping Deryl berkomentar. Deryl tertawa. "Itulah fungsinya aku membawamu ke tempat ini!" Wanita di sampingnya tertawa kecut. Ia tahu betul watak Deryl, lelaki yang sudah ia kenal semenjak bangku Taman Kanak-kanak, tapi karena suatu hal harus terpisah selama belasan tahun. Dan ki

[Cerpen] Rindu Sudah Kedaluwarsa

Gambar
Seperti biasa, aku memotret senyummu, kelak aku akan menyimpannya. Semoga bisa bertahan lebih lama. Biasanya kedaluwarsa dalam beberapa hari. Tapi sepertinya kali ini tidak, semoga saja. Jogja, 3 April, 19.58 WIB “Halo sayang, sudah makan?” “Aku tak lapar,” bibirmu mengerucut. “Ada apa? Bagaimana dengan pekerjaanmu hari ini?” “Aku rindu kamu, aku benci rindu!” Aku menghela napas sepersekian detik, kemudian melanjutkan bicaraku, “Sayang, kamu tahu mengapa rindu tercipta?” Kamu menggeleng. Aku tahu betul, hatimu sedang tidak baik-baik saja. “Agar kita lebih menghargai kebersamaan,” lanjutku, kemudian menatapmu, matamu memerah, ada bulir bening yang hampir menetes dari sana. Hanya dalam hitungan minggu setelah kami berdua menikah, aku dipindahtugaskan ke Jogja, sementara dia – istriku, tetap menjalankan pekerjaannya di Bandung. Ya, kami terpisah jarak, dan kini sudah menginjak di tahun yang kedua. Jadwal kerja yang padat membuatku jarang pulang ke

[Cerpen] The Unspoken

Gambar
Teras Rumah, Pukul 06.00, Randi tengah merapikan kemeja dan celana panjangnya, rambutnya dibiarkan begitu saja tanpa disisir terlebih dahulu, sementara tangannya kemudian mengambil sepasang casual boots berwarna cokelat yang tergeletak di teras, tepatnya persis di depan pintu masuk. Semalam ia pulang amat larut sehingga lupa memperhatikan sepatunya, apakah sudah berada pada tempat semestinya atau tidak. Tidurnya hanya terhitung beberapa jam, itupun tergolong tak nyenyak, tubuhnya terasa pegal-pegal untung saja ia masih bisa bangun untuk melaksanakan sholat subuh walau tak dilakukan secara berjamaah di masjid terdekat. Seporsi sandwich telah berada di sakunya, "mempersingkat waktu sarapan", menurutnya. Pagi ini Randi harus sampai di kantor lebih awal karena ada beberapa hal yang harus ia persiapkan untuk keperluan meeting. Meeting selesai, semua berjalan dengan baik. Tapi seperti ada yang mengganjal di hati Randi, entah apa. Ia masih menerka-nerka. **

[Cerpen] Pilu di Palu

Gambar
Guncangan. Masih begitu terasa, di tubuh mungilnya, tentu juga pada hatinya. "Kak, Ayah sama Bunda di mana?" Aldi menggeleng. Pertanyaan yang sama terus mengalir dari bibir Kirana, adiknya. Kadang pertanyaan lain juga muncul. "Kak, kita makan apa? Aku lapar." Dua kakak beradik itu kini tengah berada di tenda pengungsian. Bantuan demi bantuan semakin banyak berdatangan, mulai dari bantuan bahan makanan, pakaian, obat-obatan serta bantuan berbentuk moril. Ada juga bantuan yg tak terlihat, namun tulus diberikan, doa. Gempa berkekuatan 7.7 SR beberapa waktu lalu rupanya membuat kakak-beradik tersebut kehilangan kedua malaikat tak bersayap mereka, hingga kini Ayah dan Bunda mereka belum juga ditemukan. Sementara Tim SAR seakan tak pernah lelah untuk terus mencari dan mengevakuasi korban. Keduanya berhasil ditemukan di saluran air. Aldi mengalami luka di bagian pelipis, kaki dan tangan. Sementara si kecil Kirana mengalami luka kecil di bagian kepa

Jodoh Tak Ke Mana, Sayang

Gambar
Memang benar, bahwa tak ada yang sia-sia dari sebuah penantian. Semua akan tiba pada saatnya, pada saat terbaik menurut Tuhan. “Cantiknya,” puji orang-orang yang melihatnya. Riasan natural ditambah dengan perpaduan warna hijab merah muda dan ungu yang melingkar di kepalanya membuat Rani tampil tak biasa hari ini. Hari ini adalah hari bahagianya, telah bertahun-tahun ia lewati dalam penantian juga doa. Dan ternyata Tuhan punya cara sendiri dalam mengabulkan harapnya selama ini. Usia Rani telah menginjak setengah abad, dan lelaki yang mengucap ijab kabul di sampingnya itu adalah lelaki yang usianya terpaut dua puluh tahun lebih muda darinya. Lelaki gagah itu bernama Bagas.

Madu

Gambar
“Sayang, apa kamu akan suka bila aku berikan madu?” “Pasti, Sayang.” Lani tersenyum, tangannya masih sibuk melarutkan gula dalam secangkir teh hangat yang akan disajikan untuk suaminya. “Benarkah?” Suaminya bertanya lagi.

Menanti Galih Kembali

Gambar
Katanya, ia akan segera kaya raya dan bersedia menikahiku, asal aku mau bersabar menjaga cinta ini agar tidak padam. Ya, ia berjanji padaku, akan mencintaiku sepanjang usianya. Dan aku percaya itu. Galih, ia adalah kekasihku sejak enam bulan yang lalu. Ia seorang pekerja keras. Pagi hingga siang hari ia membantu Pak Manta berjualan sayur mayur di Pasar. Sore hari ia beristirahat sebentar, sementara malam hari ia juga mencari pekerjaan tambahan, uang yang dihasilkan pun lebih banyak dibanding hasil upah bekerja dengan Pak Manta.

Penjual Kopi yang Bangun Kesiangan

Gambar
Sepuluh menit lagi menuju pukul sebelas malam. Salim sudah hampir selesai merapikan kumpulan bangku dan meja di kedai kopinya. Kedua karyawannya baru saja pulang beberapa menit yang lalu. Temperatur ruangan menjadi semakin dingin, bersamaan dengan datangnya seorang wanita berbaju serba putih. Bergegas ia mendekati wanita berambut panjang tersebut sambil menyodorkan daftar menu.

Renjana dan Dua Cangkir Kenangan

Gambar
Satu jam yang lalu aku bertengkar, bertengkar pada kata-kata yang ingkar. Seperti bayanganmu yang masih saja ingkar pada janjinya, janjinya yang tak akan terus datang mengganggu setiap mimpi-mimpiku. Aku berjalan ke sebuah meja yang letaknya berada di paling ujung. Di sana aku dan kamu biasa menghabiskan waktu bersama, saling bercerita, saling melemparkan senyum. Kita tak pernah kehabisan topik pembicaraan, dan hanya ada satu yang dapat menghentikannya, suara pramusaji yang berteriak bahwa kedai kopi sebentar lagi akan ditutup, karena waktu sudah larut malam.

[Fiksi Horor dan Misteri] Aku Telah Mati?

Gambar
Matahari tepat berada di atas kepala ketika keadaan kian mencekam. Banyak tangan-tangan yang sibuk dengan pekerjaan barunya, mulai dari melempar botol, melempar kayu, membakar apa saja yang mereka lihat, menjarah toko-toko, menodongkan pisau bahkan tak segan-segan menghunuskannya pada tubuh-tubuh tak bersalah. Di antaranya mungkin ada perut kosong yang belum makan sejak dua hari yang lalu. Panas, hawa semakin panas ketika api dengan cepat menyebar ke mana-mana. Tak ada yang tahu persis bagaimana awal kejadian dari semua ini. Semua begitu cepat terjadi.

Kisah September

Gambar
malam  ini hujan hendak berbagi berbagi kisah tentang rindu  yang telah disimpannya selama ratusan hari rindu yang membeku hingga akhirnya mencair menghasilkan remahan kenangan yang tak terhingga jumlahnya

September di Cilember

Gambar
Aku pernah terluka. Terluka karena tanganmu tak menyambutku. Terluka karena rasamu abaikan rasaku. Ya, aku pernah terluka, olehmu. "Dasar gombal!" "Kain gombal?" "Capek ngomong sama kamu!" "Tapi aku nggak pernah capek sayang sama kamu, Laras."

Secangkir Rindu untuk Randu

Gambar
Lana “Aku serius….” kata-kata yang diucapkan Randu beberapa jam yang lalu masih beterbangan dalam pikiranku. Lelaki yang telah aku kenal sejak sepuluh tahun yang lalu itu memang tak pernah gagal membuat hatiku luluh.

Arnold Leopard

Gambar
Sepertinya aku jatuh cinta. Lelaki misterius itu selalu membuatku candu. Awalnya aku hanya melewati sebuah rumah megah bercat merah. Aku sendiri tak tahu apa yang sedang dia lakukan saat itu. Hari-hari berikutnya, aku melakukan hal yang sama, melewati rumah yang sepertinya lebih cocok bila disebut dengan bangunan tua. Lelaki itu lagi. Selalu dengan posisi yang hampir sama, duduk di bangku besar dengan secangkir minuman, atau duduk dengan sebuah buku di genggamannya. “Maaf……” Tanganku seakan lancang membuka pintu tanpa permisi terlebih dahulu. Dia tak berkutik, hanya menoleh sedikit tanpa mengatakan apa-apa. “Maaf, aku lancang, aku hanya ingin tahu…... Ah, kau tinggal sendiri?” Lanjutku memecah keheningan. Lagi, tak ada jawaban. Dasar aneh! Batinku. Aku mulai kesal dibuatnya, tanpa pikir panjang, aku beranjak pergi meninggalkan rumah tersebut. “Tunggu.” Lelaki tadi memanggilku. “Arnold.” Ucapnya sambil mengulurkan tangan. Akupun mengulurkan tangan tanpa ragu. “

Sebuah Penantian di Ujung Dermaga

Gambar
"Aku sayang kamu.." Jemarimu membelai pipiku, hembusan napasmu berlari bersamaan tiupan angin yang menyapu dermaga sore ini. Aku hanya menatap sejenak, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. "Kapan kamu mau percaya?" Aku hanya melemparkan isyarat, menggeleng serta mengangkat bahu. "Senja yang jadi saksinya," ucapmu meneruskan. "Kenapa hal yang kita sukai, harus menjadi saksi sebuah perpisahan, yang juga merupakan sebuah kesedihan?" Tanyaku. Kamu menghela napas. "Belum waktunya." "Sampai kapan?" tanyaku kembali. "Aku janji akan kembali, untuk kamu. Mungkin butuh waktu yang agak lama, semoga saja kamu sabar menanti." "Ya, tak ada pilihan lagi." ucapku mulai pasrah. "Berapa lama?" Kamu lalu menyebutkan angka tiga. Tiga tahun untuk sebuah penantian, sekaligus pembuktian. Kala itu kita berbincang di bawah naungan langit yang cukup bersahabat. Hingga akh