Sebuah Penantian di Ujung Dermaga




"Aku sayang kamu.." Jemarimu membelai pipiku, hembusan napasmu berlari bersamaan tiupan angin yang menyapu dermaga sore ini.

Aku hanya menatap sejenak, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

"Kapan kamu mau percaya?"

Aku hanya melemparkan isyarat, menggeleng serta mengangkat bahu.

"Senja yang jadi saksinya," ucapmu meneruskan.

"Kenapa hal yang kita sukai, harus menjadi saksi sebuah perpisahan, yang juga merupakan sebuah kesedihan?" Tanyaku.

Kamu menghela napas. "Belum waktunya."

"Sampai kapan?" tanyaku kembali.

"Aku janji akan kembali, untuk kamu. Mungkin butuh waktu yang agak lama, semoga saja kamu sabar menanti."

"Ya, tak ada pilihan lagi." ucapku mulai pasrah. "Berapa lama?"

Kamu lalu menyebutkan angka tiga. Tiga tahun untuk sebuah penantian, sekaligus pembuktian.

Kala itu kita berbincang di bawah naungan langit yang cukup bersahabat. Hingga akhirnya sirine kapal membuat perpisahan kita benar-benar nyata. Tak ada air mata yang mengantarkanmu pergi, ya tak ada air mata di lima menit pertama, setelahnya aku hanya mampu mengusap linangan air yang mengalir deras di pipiku.

***
Aku menepati janjiku, menanti kamu pulang kembali, menemuimu, mengambil hatimu yang telah menjadi milikku sejak lama, itu katamu. Di tanggal yang sama, di dermaga yang sama, namun bukan tahun ketiga, melainkan tahun yang kelima.

Dari kejauhan, sosokmu semakin terlihat jelas. Tanganku sibuk merapikan ini itu agar aku tetap terlihat cantik di matamu, ya walaupun lima tahun telah terlewati.

"Bima!" teriakku sambil melambaikan tangan padamu.

Kamu tersenyum, tipis. Kamu tampak kewalahan dengan tiga anak kecil yang berjalan mengikutimu.

"Mereka siapa?" tanyaku ketika langkahmu makin mendekat ke arahku.

"Kamu masih menungguku?"

Aku mengangguk cepat.

"Maaf.. Maaf aku khilaf, tapi aku, aku harus segera pulang." jawabmu agak tergesa-gesa.

Langkah kakimu perlahan meninggalkanku, bersama tiga pasang kaki mungil yang memanggilmu dengan sebutan ayah.

Aku rasa cukup, tak ada lagi yang perlu dinantikan, karena kamu sudah membuktikannya, walau dengan cara yang berbeda.


Sumber Ilustrasi : Imas Siti Liawati

Komentar

  1. Haish! Dasar laki-laki gombal amoh itu si Bima... 😣

    BalasHapus
    Balasan
    1. Khilaf itu Tan, khilaf yang menghasilkan tiga anak, hahaaa :D

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nostalgia pada Sebungkus Es Mambo

Sepatu Jebol