Sepasang Sayap untuk Rheina
“Buket anggrek lagi?”
“Entahlah..”
“Kenapa dia tahu kau begitu suka anggrek?”
“Theo, maafkan aku.”
Theo menarik napas dalam-dalam. “Bukan salahmu Rhein..”
Hal yang sama telah terjadi beberapa kali. Sebuah buket anggrek – bunga yang begitu Rheina suka, telah bertengger di meja kerja Rheina, bahkan di pagi buta sekalipun. Entahlah siapa yang mengirimkannya dan bagaimana bunga tersebut bisa hadir di meja kerjanya setiap pagi.
Dan pada kiriman buket bunga yang keseratus, si pengirim menuliskan namanya pada sebuah kartu cantik yang melekat pada buket tersebut. Rheina kenal sekali dengan nama itu. Lima tahun yang lalu nama tersebut sempat singgah di hati Rheina dan akhirnya pertengkaran hebat yang terjadi pada hari ulang tahun Rheina membuat mereka memutuskan untuk berpisah. Doni, ya nama itu..
“Seperti biasa Rhein?”
Seketika lamunan Rheina terhenti, ia terkejut Theo telah ada di meja kerjanya.
“Eh, iy..iya..” Jawab Rheina agak kikuk.
“Boleh aku lihat?”
Rheina mengangguk.
Theo memegang buket anggrek tersebut, cantik memang. Bahkan ia begitu jarang memberikan bunga anggrek kepada kekasihnya itu.
“Kali ini ada nama pengirimnya ya? Dan buket anggrek ini adalah kiriman yang keseratus?”
Rheina terdiam, merasa bersalah.
“Rhein, kenapa diam? Jangan merasa bersalah, aku tak menyalahkanmu, ini bukan salahmu. Seharusnya aku percaya kamu. Ah aku ini terlalu egois ya?” Ucap Theo sambil tersenyum, menggoda Rheina.
“Kamu tak cemburu? Ada kalanya rasa cemburu itu diperlukan.”
“Siapa sih yang tak akan cemburu bila wanitanya selalu dikirimkan bunga oleh lelaki lain? Tapi aku percaya kamu Rhein.” Theo menggenggam tangan Rheina, memastikan bahwa yang diucapkannya adalah benar.
“Jangan pernah berpikir aku akan memilih yang lain. Karena mereka tak melihat apa yang kau lihat. Apapun alasannya, aku akan tetap memilihmu.”
Dilihatnya mata lelaki yang sedari tadi duduk disampingnya. Mata yang selalu membuat Rheina tersenyum. Mata yang tajam itu kini tengah berbinar, berbinar mendengar ucapan sang wanita.
***
Dan lagi, kali ini Doni mencoba mengirimkan beberapa pesan. Ia mengajak Rheina untuk bertemu, melepas rindu menurutnya – menurut Doni, tidak dengan Rheina. Beberapa pesan yang mewarnai ponselnya itu hanya didiamkan, tak ada yang dibalas satu pun.
Hingga akhirnya, pada suatu hari Doni datang ke kantor Rheina. Terkejut? Tak terlalu. Doni, masih saja seperti yang dulu, selalu berupaya keras untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Bahkan sebelumnya Rheina pernah membayangkan kejadian hari ini akan terjadi. Namun sayang, kali ini Theo sedang tak ada di kantor, ia sedang tugas ke luar kota.
“Rhein, kenapa kamu tak pernah balas pesanku?”
“Maaf Don, aku tak bisa.”
“Memangnya kenapa?”
“Karena telah ada orang lain yang mengisi hatiku.”
“Hanya itu? Ayolah Rhein, apapun bisa terjadi.” Ucap Doni agak memaksa.
“Kamu belum tahu kejadian yang sesunguhnya Doni.”
“Tentang apa?”
Rheina menceritakan kejadian dua bulan lalu. Ketika dia dengan Theo sedang berencana pergi ke suatu tempat. Tempat mereka pertama kali bertemu dahulu, sebuah pantai. Mereka menghabiskan waktu seharian disana. Dan akhirnya ketika dalam perjalanan pulang, sebuah kejadian yang mereka tidak inginkan terjadi. Mobil mereka bertabrakan dengan sebuah kendaraan roda empat lain dari arah berlawanan. Rheina terpental sejauh sepuluh meter.
Semenjak kejadian tersebut, kaki Rheina tak lagi dapat berjalan, lumpuh. Sementara Theo hanya mengalami gegar otak ringan.
“Kamu paham sekarang?”
Doni terdiam.
“Lalu apa yang akan kau harapkan dari gadis lumpuh sepertiku?” lanjut Rheina.
Doni memalingkan wajahnya. Dilihatnya dibalik meja itu, kaki Rheina memang tak dapat berjalan kembali, Ia gamang. Seperti keraguan tiba-tiba datang menyerangnya.
***
“Entahlah..”
“Kenapa dia tahu kau begitu suka anggrek?”
“Theo, maafkan aku.”
Theo menarik napas dalam-dalam. “Bukan salahmu Rhein..”
Hal yang sama telah terjadi beberapa kali. Sebuah buket anggrek – bunga yang begitu Rheina suka, telah bertengger di meja kerja Rheina, bahkan di pagi buta sekalipun. Entahlah siapa yang mengirimkannya dan bagaimana bunga tersebut bisa hadir di meja kerjanya setiap pagi.
Dan pada kiriman buket bunga yang keseratus, si pengirim menuliskan namanya pada sebuah kartu cantik yang melekat pada buket tersebut. Rheina kenal sekali dengan nama itu. Lima tahun yang lalu nama tersebut sempat singgah di hati Rheina dan akhirnya pertengkaran hebat yang terjadi pada hari ulang tahun Rheina membuat mereka memutuskan untuk berpisah. Doni, ya nama itu..
“Seperti biasa Rhein?”
Seketika lamunan Rheina terhenti, ia terkejut Theo telah ada di meja kerjanya.
“Eh, iy..iya..” Jawab Rheina agak kikuk.
“Boleh aku lihat?”
Rheina mengangguk.
Theo memegang buket anggrek tersebut, cantik memang. Bahkan ia begitu jarang memberikan bunga anggrek kepada kekasihnya itu.
“Kali ini ada nama pengirimnya ya? Dan buket anggrek ini adalah kiriman yang keseratus?”
Rheina terdiam, merasa bersalah.
“Rhein, kenapa diam? Jangan merasa bersalah, aku tak menyalahkanmu, ini bukan salahmu. Seharusnya aku percaya kamu. Ah aku ini terlalu egois ya?” Ucap Theo sambil tersenyum, menggoda Rheina.
“Kamu tak cemburu? Ada kalanya rasa cemburu itu diperlukan.”
“Siapa sih yang tak akan cemburu bila wanitanya selalu dikirimkan bunga oleh lelaki lain? Tapi aku percaya kamu Rhein.” Theo menggenggam tangan Rheina, memastikan bahwa yang diucapkannya adalah benar.
“Jangan pernah berpikir aku akan memilih yang lain. Karena mereka tak melihat apa yang kau lihat. Apapun alasannya, aku akan tetap memilihmu.”
Dilihatnya mata lelaki yang sedari tadi duduk disampingnya. Mata yang selalu membuat Rheina tersenyum. Mata yang tajam itu kini tengah berbinar, berbinar mendengar ucapan sang wanita.
***
Dan lagi, kali ini Doni mencoba mengirimkan beberapa pesan. Ia mengajak Rheina untuk bertemu, melepas rindu menurutnya – menurut Doni, tidak dengan Rheina. Beberapa pesan yang mewarnai ponselnya itu hanya didiamkan, tak ada yang dibalas satu pun.
Hingga akhirnya, pada suatu hari Doni datang ke kantor Rheina. Terkejut? Tak terlalu. Doni, masih saja seperti yang dulu, selalu berupaya keras untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Bahkan sebelumnya Rheina pernah membayangkan kejadian hari ini akan terjadi. Namun sayang, kali ini Theo sedang tak ada di kantor, ia sedang tugas ke luar kota.
“Rhein, kenapa kamu tak pernah balas pesanku?”
“Maaf Don, aku tak bisa.”
“Memangnya kenapa?”
“Karena telah ada orang lain yang mengisi hatiku.”
“Hanya itu? Ayolah Rhein, apapun bisa terjadi.” Ucap Doni agak memaksa.
“Kamu belum tahu kejadian yang sesunguhnya Doni.”
“Tentang apa?”
Rheina menceritakan kejadian dua bulan lalu. Ketika dia dengan Theo sedang berencana pergi ke suatu tempat. Tempat mereka pertama kali bertemu dahulu, sebuah pantai. Mereka menghabiskan waktu seharian disana. Dan akhirnya ketika dalam perjalanan pulang, sebuah kejadian yang mereka tidak inginkan terjadi. Mobil mereka bertabrakan dengan sebuah kendaraan roda empat lain dari arah berlawanan. Rheina terpental sejauh sepuluh meter.
Semenjak kejadian tersebut, kaki Rheina tak lagi dapat berjalan, lumpuh. Sementara Theo hanya mengalami gegar otak ringan.
“Kamu paham sekarang?”
Doni terdiam.
“Lalu apa yang akan kau harapkan dari gadis lumpuh sepertiku?” lanjut Rheina.
Doni memalingkan wajahnya. Dilihatnya dibalik meja itu, kaki Rheina memang tak dapat berjalan kembali, Ia gamang. Seperti keraguan tiba-tiba datang menyerangnya.
***
“Sayang, bawa aku keliling
taman ya?” Pinta Rheina.
Theo mengangguk, ia kemudian membawa gadisnya bersama kursi roda menuju taman.
Semenjak kecelakaan tersebut, Theo merasa bersalah. Karena kelalaiannya, kedua kaki Rheina lumpuh, tak bisa berjalan, tak bisa menggunakan kedua kakinya untuk berjalan lagi. Tapi Theo berjanji, ia akan memberikan dua sayap untuk Rheina, yaitu hati dan kesetiaan.
Theo, kau serupa malaikat, yang memberikan aku sepasang sayap, aku tak perlu takut jika aku tak bisa berlari pun tak bisa berjalan. Sayap inilah yang kemudian akan mengantarku kemanapun aku suka. Dan dari awal pertemuan kita, kamu begitu banyak memberikan kesan, kamu lelaki sederhana, yang mampu memikatku sedemikian rupa, bukan melalui kata dan harta melainkan dengan hati. Bahkan hingga kini, ketika fisikku tak lagi sempurna. Cinta memang akan selalu indah, bila kita mampu melihatnya dengan hati – Rheina.
“Tidak butuh fisik yang sempurna untuk mempunyai kisah cinta yang sempurna.” Zhong Wen – Assalamualaikum Beijing.
Ilustrasi : Buket Anggrek dan Sepasang Sayap untuk Rheina
3 Februari 2015
Theo mengangguk, ia kemudian membawa gadisnya bersama kursi roda menuju taman.
Semenjak kecelakaan tersebut, Theo merasa bersalah. Karena kelalaiannya, kedua kaki Rheina lumpuh, tak bisa berjalan, tak bisa menggunakan kedua kakinya untuk berjalan lagi. Tapi Theo berjanji, ia akan memberikan dua sayap untuk Rheina, yaitu hati dan kesetiaan.
Theo, kau serupa malaikat, yang memberikan aku sepasang sayap, aku tak perlu takut jika aku tak bisa berlari pun tak bisa berjalan. Sayap inilah yang kemudian akan mengantarku kemanapun aku suka. Dan dari awal pertemuan kita, kamu begitu banyak memberikan kesan, kamu lelaki sederhana, yang mampu memikatku sedemikian rupa, bukan melalui kata dan harta melainkan dengan hati. Bahkan hingga kini, ketika fisikku tak lagi sempurna. Cinta memang akan selalu indah, bila kita mampu melihatnya dengan hati – Rheina.
“Tidak butuh fisik yang sempurna untuk mempunyai kisah cinta yang sempurna.” Zhong Wen – Assalamualaikum Beijing.
Ilustrasi : Buket Anggrek dan Sepasang Sayap untuk Rheina
3 Februari 2015
Apik.
BalasHapusBu Maria, terimakasih ya bu.. :)
HapusUhuk aja. Speechless kalo sudah baca kisah-kisah mengharu seperti ini :) eh :(
BalasHapusMas Ryan, mengharu itu emotenya sebenernya :) ato :( yak? Hehehe..
Hapustintiiiiinn... numpang liwat
BalasHapusskalian mo culik n nyekap blog-nye heheh
Hasekkkk..mo diculikkkkk.. Wkwkk.. *salah ekspresi* :v
BalasHapusini nih yg gw demen: Tapi Theo berjanji, ia akan memberikan dua sayap untuk Rheina, yaitu hati dan kesetiaan.
BalasHapustop!
Wuiihhh ada Mas Nito? *gelar karpet* wkwkwk..
HapusMakasih mas udah mampir di marih :D