Aku Hanya Selembar Daun yang Jatuh


Kau tahu? Betapa bahagianya aku ketika sebuah cincin melingkar di jari manisku, kau yang memakaikannya, enam bulan yang lalu. Setelahnya kita merangkai cerita demi cerita untuk masa depan. Semuanya indah, tak sedikitpun aku meragu padamu. Tapi itu dulu, ketika kau belum mengenal Yasmin, yang tak lain adalah teman kantormu sendiri.

Tak sedikit lelaki yang ingin memiliki hatinya, bersusah payah, bahkan jatuh bangun hanya untuk bisa mendekatinya. Sementara kau hanya perlu berdiam diri, tanpa harus melakukan sesuatu apapun, maka seluruh hatinya akan jadi milikmu.


Ketika itu hatimu hanya milikku, Berkali-kali kau jelaskan padanya bahwa kau hanya milikku – Andara – bukan Yasmin. Tapi rupanya Yasmin bukan wanita yang mudah menyerah, ia terus mendekatimu, tak peduli walau kau akan segera menikahiku.

Dan kau tahu? Beberapa waktu setelahnya kau memberiku sebuah kejutan, sebuah kata-kata manis yang kau rangkai bersamanya. “Maafkan aku yang tak bisa lagi memilihmu.”

Aku mengangguk. diikuti tetesan air mata yang tersamarkan hujan. Aku memilih mengiyakan perkataanmu dengan syarat, berdua denganmu, sebelum semuanya pergi dari genggamanku. Melihat matamu yang mampu menenangkan amarahku, melihat rambut ikalmu yang selalu membuat tanganku tak pernah absen menyentuhnya, melihat tangan kekarmu yang selalu memelukku, dan juga melihat bibirmu yang dulu senantiasa ucapkan cinta.

Itu dulu, sebelum semuanya hilang..

**

Minggu pertama (terinspirasi oleh puisi)

"Hatiku Selembar Daun
Oleh : Sapardi Djoko Damono

Hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput
Nanti dulu, biarkan aku sejenak berbaring di sini
Ada yang masih ingin ku pandang
Yang selama ini senantiasa luput
Sesaat adalah abadi
Sebelum kau sapu taman setiap pagi

Sumber ilustrasi : dokumentasi pribadi
Karya ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nostalgia pada Sebungkus Es Mambo

Kumpulan Fiksi Kilat (6 Kata)