[Fiksi Kuliner] Terselip Kenangan Antara Jubung dan Ayas

Jenang Ayas
Putri Apriani, No. 1

Lengkap sudah kebahagiaanku. Hanya berselang sekitar lima bulan perkenalan kami, aku kini resmi menyandang status baru, sebagai Nyonya Althaf. Awalnya aku hanya menginginkan pesta sederhana yang hanya dihadiri keluarga dan kerabat. Namun pihak keluarga suamiku nyatanya telah mempersiapkan semua, pesta kebun dengan dekorasi yang luar biasa cantiknya.

Aku pun tak pernah mengharapkan honeymoon di sebuah penginapan mewah, pergi ke luar kota apalagi ke luar negeri, tapi nyatanya dewi fortuna sedang tak ingin jauh dariku. Dua tiket telah disiapkan suamiku menuju ke timur Pulau Jawa, rupanya ada pekerjaan di sana jadilah kami sekaligus menikmatinya sebagai bulan madu.

"Za, pokoknya kamu nggak perlu tahu kita akan pergi ke mana, ini surprise untuk kamu." ucap suamiku seraya meletakkan telunjuknya pada hidungku.

Aku tersenyum manja sambil mencubit pipinya "Ih, kamu bikin aku penasaran aja sih, Mas?"
***

Aku membuka mataku, rasa lelah yang mendera beberapa hari ini membuatku terkena virus "pelor" alias nempel molor.

"Za, bangun, kita udah sampe nih."

Aku terbangun dengan sisa mimpi yang kutinggalkan, untunglah sebatas mimpi, bukan peninggalan lain, berupa ‘peta pulau’ misalnya.

Kota ini? Aku seperti kenal betul dengan kota yang saat ini tengah kusinggahi. Althaf menggenggam jemariku dan mengajakku ke sebuah toko dengan plang nama "Oleh-oleh Khas Gresik".

"Mas, kok kita malah ke sini?" tanyaku dengan raut kebingungan.

"Iya, udah setahun aku nggak ke sini, jadi kangen sama cemilan khasnya." ujar suamiku yang sedang asyik melihat berbagai jenis makanan yang tersedia di etalase toko. "Kamu udah pernah coba ini, Za?" Ia menunjukkan dua buah makanan yang tak asing lagi dalam pikiranku.

Aku menggelengkan kepalaku walau sebenarnya aku tahu apa nama makanan itu. Jenang Jubung dan Jenang Ayas. Tentu saja aku hafal betul kedua makanan itu. Ada kenangan yang terselip di kedua makanan manis tersebut. Kenangan manis sekaligus menyakitkan.

Ingatanku mengarah ke peristiwa lima tahun yang lalu, ada sebuah nama yang mengisi hatiku, nama itu adalah Fadlan. Kala itu aku dan Fadlan adalah sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta. Di mana ada aku di situ ada dia. Kami bagai gula dan semut, bahkan banyak yang mengatakan bahwa kami seperti anak kembar, tak terpisahkan. Kami sempat pula mengukir impian, impian bersanding di pelaminan, impian yang nyatanya tak pernah terwujud, impian anak muda yang labil karena begitu mudahnya mengucapkan ini itu tanpa memikirkan baik buruknya.

Dulu, kegiatannya berpusat di Jakarta, sehingga beberapa bulan sekali Fadlan menyempatkan diri untuk pulang ke kotanya. Kota Gresik, yang juga dikenal sebagai kota para wali, hal ini ditandai dengan penggalian sejarah yang berkenaan dengan peranan dan keberadaan para wali yang makamnya berada di Kabupaten Gresik yaitu, Sunan Giri dan Syekh Maulana Malik Ibrahim. Juga dengan berbagai kulinernya yang ngangenin. Fadlan seringkali membawakan aku oleh-oleh, "Ini cuma ada di Gresik, Za, di Jakarta nggak ada yang jual." Begitu menurutnya, mungkin itu yang menyebabkan aku selalu candu dengan kuliner dari kota asalnya.

Ada nasi krawu, otak-otak bandeng, pudak, jubung, ayas, dll. Aku paling suka jubung dan ayas. Jubung dan Ayas merupakan jenang atau dodol. Dodol ini memang berbeda dengan yang lainnya. Bila jubung berbentuk bulat dan dibungkus dengan pelepah daun pinang sedangkan Ayas memiliki warna-warna yang cerah seperti pink, kuning, hijau, dan hitam. Persamaan dari keduanya adalah taburan wijen yang sepertinya mampu menetralisir rasa manis. Sehingga kedua jenang ini tidak memiliki rasa manis yang berlebihan, tak seperti kebanyakan jenang/dodol lainnya.

Jenang Jubung

"Sayang? Duh, aku kok dicuekin sih?” tepukan tangan Althaf pada bahuku mengusir lamunanku. “Cobain deh yang ini namanya Jubung kalo yang ini Ayas. Rasa manisnya pas kayak kamu." 

Duh mengapa pula aku harus mengingat Fadlan kembali? Mengingat kenangan yang telah aku usir keras-keras?

"Hei, kamu kenapa sih? Kok melamun terus?"

"Eh, hhmm.. Nggak apa-apa kok, kayaknya aku masih ngantuk deh."

"Ya udah nih cobain dulu. Abis ini kita langsung ke hotel, besok pagi anterin aku ketemu klien sekaligus teman lamaku ya?"

Aku tersenyum kemudian mengangguk, mencoba menutupi rasa kikukku dengan menggigit Jenang Ayas yang diberikan Althaf, lelaki yang beberapa hari ini telah menjadi suamiku.

"Enak Mas, jangan lupa bungkus yang banyak ya?" kataku sambil mengedipkan mata.

**
Pagi yang cerah di kota Gresik, aku dan suamiku menyempatkan sarapan di sekitar hotel. Tentunya menyantap nasi krawu yang sudah lama diidamkan Althaf.

"Udah lama nggak makan nasi krawu, rasanya uenaaaakk banget." Aku suamiku dengan mulut yang penuh. Ia tampak begitu lucu sehingga membuatku tertawa dan mengucapkan..

"Sama dong Mas."

Ups, aku keceplosan!

"Maksudnya?" wajah suamiku nampak kebingungan.

"Ya, maksud aku, menurutku nasi krawu ini emang enak banget, sama kan?" ungkapku sambil menghela napas.

Sesaat kemudian, kami tertawa bersama, menghabiskan nasi krawu yang tinggal beberapa sendok saja, kemudian bergegas ke sebuah tempat, bertemu dengan klien sekaligus teman lama Althaf, sesuai dengan janji mereka sejak kemarin.

Kami melangkah ke sebuah cafe, langkah kaki kami kompak menuju meja nomor 10, ternyata sudah ada seseorang yang sedang duduk di sana.  Samar sosok lelaki itu seperti pernah kukenal, sayang wajahnya menghadap ke arah yang berlawanan dengan kami. Hingga akhirnya kami sampai di meja nomor 10, dan suamiku memperkenalkan temannya padaku.

“Sayang, kenalin nih teman lamaku, namanya Fadlan.”

Deg! Hatiku berdegup kencang. Fadlan? Aku seakan tak percaya, bahwa yang ada di hadapanku saat ini adalah Fadlan yang pernah mengisi hatiku lima tahun yang lalu. Aku mengulurkan tanganku setelah Fadlan mengulurkan tangannya terlebih dahulu. Tangan kami gemetar. Aku mencoba berusaha bersikap tenang. Agar suamiku tak berpikiran yang macam-macam. Ah, apa seharusnya aku bicara saja pada suamiku kejadian yang sebenarnya, bahwa Fadlan adalah… Ah rasanya waktunya tak tepat, jangan sekarang.

Aku hanya bisa diam ketika mereka berdua terlibat dalam perbincangan yang asyik. Aku memperhatikan tawa mereka, begitu akrab memang. Aku tak menyangka Althaf yang sekarang jadi suamiku adalah kawan lama dari mantanku sendiri, Fadlan.

“Doain aja, undangannya menyusul ya, belum selesai cetak, sementara orangnya aja dulu yang aku kenalin ke kalian.” aku dengar Fadlan mengucapkan sebuah kalimat.

Jadi sebentar lagi dia akan menikah? Rasa penasaranku semakin besar, wanita seperti apa sih yang kelak akan mendampingi Fadlan? Yang jelas bukan aku, karena aku kini telah menjadi Ny. Althaf, batinku sambil tersenyum.

“Nah tuh dia orangnya datang.” Fadlan menunjuk ke arah gadis cantik yang tengah berjalan anggun menuju meja kami, meja nomor 10.

“Lho, Arlita?”

“Mas Althaf?”

“Kalian sudah saling kenal?” tanya Fadlan dengan wajah bingung.

Sementara aku melihat ketiganya dengan wajah yang tak kalah bingungnya, hatiku diliputi penasaran.

“Jadi gini, sayang…” suamiku mencoba menjelaskan sambil menggenggam tanganku, kemudian ia meneruskan bicaranya “Arlita ini dulu pernah pacaran sama Mas..”

“Jadi Arlita mantannya Mas Althaf?” aku tak sabar menunggu jawaban Althaf sehingga aku tak sengaja memotong bicaranya.

“Iya Mbak.” jawab Arlita malu-malu.

“Nah, itu udah dijawab sama Arlita kan sayang?”

“Oke sekarang giliran aku yang mau jelasin sesuatu.” Fadlan tiba-tiba membuka suaranya kembali. “Althaf, Arlita, sebenarnya antara aku dan Za, hhmm, kami juga pernah punya hubungan khusus..”

Kini wajah Althaf dan Arlita yang terlihat bingung. “Kalian berdua mantan?” celetuk keduanya kompak.

Wajahku memerah, begitu juga Fadlan, hanya saja ia terlihat lebih lega.

“Kenapa nggak bilang dari tadi Za?”

“Aku takut kamu marah Mas.”

Dan suasana menjadi riuh, tak tegang seperti sebelumnya. Kami berempat, bertemu dengan cara tak terduga. Kami berempat seperti sudah saling mengenal satu sama lainnya. Dan kami terlibat dalam sebuah reuni, reuni mantan.



Diikutsertakan dalam Event Fiksi Kuliner, Fiksiana Community

Dok. Fiksiana Community

Komentar

  1. Kayaknya seru tuh ya kalu kejadian beneran. Semacam subsidi silang gitu. Hehe...
    Bagus mbak Putri. Apalagi gambar kuenya. Bikin ngiler

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hhaaha subsidi silang, bisa aja. Tapi kalo kejadian beneran emang bakal lucu dan seru sih, tapi ati-ati malah gagal move on gawat nanti :D

      Hhiiihiii, ayo dilap dulu ilernya, haha :D

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nostalgia pada Sebungkus Es Mambo

Kumpulan Fiksi Kilat (6 Kata)

Sepatu Jebol