The Art of Liora (2)
Karya Kolaborasi :
Putri Apriani dan Septiyaning
Sore
senja di sudut Jogja
Terucap
doa kau tau isi hati ini
Dan
bila itu tak terungkap
Tetap
kunikmati, rasa jatuh cinta sendiri
Tak
mampu kuungkap segalanya
Izinkan
kurenungkan
Segala
rasa
Biarkan
kata hati bicara
Dan
bila kita tercipta
Untuk
bersama
Biarkan
kata hati yang tunjukkan
Mungkin
nanti akan kusesali
Hari
ini aku diam dan tak lakukan
Tak
mampu kuungkap segalanya
Izinkan
kurenungkan
Segala
rasa
Biarkan
kata hati bicara
Dan
bila kita tercipta
Untuk
bersama
Biarkan
kata hati yang tunjukkan
Sebuah lagu yang
dinyanyikan oleh Nadya Fatira berjudul ‘Kata Hati’ mengalun indah dari mp3 player milik Ratna. Tumpukan
berkas-berkas di meja kerjanya harus ia selesaikan malam ini juga. Besok pagi
semua berkas yang telah ia kerjakan akan digunakannya sebagai bahan presentasi
di hadapan para klien. Yah, setahun sudah ia bekerja di perusahaan otomotif
yang pernah ia incar dulu.
Beberapa jam
kemudian, Ratna sudah berhasil membaringkan tubuhnya di atas kasur. Ada yang
mengganjal di hatinya, ia gundah. Lagu itu mengingatkannya pada Lio. Ah, mengapa juga mengungkapkan perasaan itu
terlalu sulit aku lakukan. Ya, ini bukan pekerjaan yang mudah. Aku merasa kaku
untuk melakukannya. Lalu sampai kapan? Batin Ratna mencoba mencari jalan
keluar.
Ratna mengambil ponselnya,
kemudian mencari kontak bernama Lio. “Aku harus menghubungi Lio, sekarang, atau
tak sama sekali.”
Dalam sebuah chat :
Lio, apa kabar?
Alhamdulillah baik,
Na. Kamu apa kabar? Baru aja aku mau telpon kamu.
Baik juga. Telpon?
Ada apa?
Nanti aja aku jelasinnya,
Na. Kita bisa ketemu?
Bisa! Jam berapa?
Jam 4 sore aja ya? Enaknya
ketemu di mana?
Hhmm, gimana kalo di
Klinik Kopi aja?
Oke, sip.
Ratna mengenggam
ponselnya. Tangannya gemetar, hatinya pun tak kalah bergetar. Kebetulan yang
tak terduga. Padahal sebelumnya Ratna lah yang ingin mengajak Lio bertemu, tapi
tak disangka-sangka, justru Lio lah yang kemudian mengajak Ratna untuk bertemu,
terlebih dahulu.
Di kafe, pukul empat
sore lebih sepuluh menit. Lio telah datang dan duduk di meja yang mudah ditemukan.
Letaknya berada pada garis lurus pintu masuk pengunjung. Ratna yang baru saja
masuk langsung saja mengenali bagian tubuh belakang Lio.
“Hei, Lio. Maaf ya aku
telat.”
“Nggak kok, aku juga
belum lama dateng.” Lio melontarkan senyum manisnya. “Mau pesen minuman apa Na?
Masih suka jus alpukat nggak?”
Lelaki itu, nyatanya
masih mengenal betul apa yang menjadi kesukaan Ratna.
“Iya, aku masih suka
jus alpukat, Lio kamu kok masih inget aja,” ucap Ratna tersipu. “Oh iya, ada
apa nih? Tumben ngajakin ketemuan.”
Lio memanggil
pramusaji yang tengah merapikan piring-piring kotor di meja sebelah yang baru
saja ditinggalkan pengunjungnya, memesan menu pesanan mereka, kemudian meneruskan
percakapannya dengan Ratna. “Jadi gini, mau diceritain dulu, apa to the point aja?”
“Duh apa sih, aku
jadi penasaran. Hhmm, enaknya gimana?” Ratna balik bertanya.
“Intinya, nggak ada
sesuatu yang kebetulan kan di dunia ini? Semuanya udah diatur sama Yang Maha
Kuasa.”
Ratna mengangguk.
“Lalu?”
“Aku yakin pertemuan
kita di job fair setahun yang lalu
juga bukan suatu kebetulan, tapi karena Tuhan telah menakdirkan kita bertemu
pada waktu itu.”
Ratna tampak
kebingungan. Ia menarik segelas jus alpukat yang baru saja tiba di hadapannya.
“Jadi maksudnya gimana? Aku nggak ngerti.”
“Seperti aku, awalnya
juga nggak ngerti sama perasaan ini. Jauh sebelum kamu pacaran sama Rayhan, Na..
Diminum dulu Na, jusnya. Nanti keburu nggak enak.” goda Lio di sela-sela
keseriusan wajah Ratna. Ratna tertawa sambil mengaduk jus alpukat kesukaannya.
“Terus?”
“Nggak sabar ya
nunggunya?”
“Lio, serius nih, aku
nunggu omonganmu.” Ratna menampakkan wajah ngambeknya di hadapan Lio. Sementara
Lio tertawa melihat wajah Ratna yang justru terlihat lucu itu.
“Aku nyimpan perasaan
ke kamu Na, jauh sebelum kamu jadian sama Rayhan. Awalnya aku mau nembak kamu, tapi aku terlalu malu.
Sampai akhirnya kamu malah jadian sama Rayhan, dan setelah kita lulus, kita lost contact kan.”
Ratna menatap Lio,
kosong. Pikirannya terbang ke berbagai arah. “Waktu kita ketemu di job fair, kenapa kamu diam aja? Dan kita
juga jarang banget ketemu setelah itu.”
“Aku masih juga belum
punya keberanian Na, waktu itu kamu tahu sendiri, aku belum punya kerjaan.
Kasian anak orang, mau dikasih makan apa nantinya? Cinta aja nggak cukup kan?”
Ratna tersenyum,
matanya benar-benar memperhatikan Lio bicara, seakan tak ingin kehilangan momen
sedikitpun dari Lio.
“Nah,
kalo sekarang, pekerjaanku udah jelas, usahaku juga udah mulai merangkak naik.”
“Kamu
punya usaha juga?”
Lio
mengangguk. Sejak SMA Lio sudah mencoba memulai usaha kecil-kecilan bermodal
uang tabungannya sendiri. Secara perlahan usaha itu mulai menampakkan hasilnya dan
berkembang sekarang.
“Brownies Telo Liora? Ini untuk apa?” Dahi
Ratna mengernyit melihat sebuah kotak warna ungu berisi kue brownies diberikan
Lio.
“Aku
butuh sekretaris pribadi untuk ngurus usahaku itu, Brownies Lio dan Ratna, juga
pendamping hidup untukku.”
Ratna
seakan tidak percaya. Kedua tangannya menutup mulutnya, seperti ketika ia bertemu
dengannya di job fair dulu, ingin
rasanya berteriak. Pemilik usaha brownies yang terkenal di kotanya dan sudah
memiliki beberapa cabang itu adalah orang yang berada di depannya sekarang ini.
Dan apa tadi? Lelaki itu ingin menjadikannya pendamping hidup?
“Emang
kamu tau kalo aku udah nikah apa belum?”
Lio
tersenyum kecil sambil meraih tangan Ratna. “Pertama, belum ada cincin di jari
manis kamu. Kedua, belum lama ini aku ketemu sama Ina, dan Ina bilang kamu
masih sendiri sampai sekarang. Kamu masih nunggu aku nyatain perasaan ke kamu
ya?”
“Sok tau
kamu.” tangan Ratna mencubit lengan Lio.
“Tapi
bener kan?” ujar Lio. Tangannya mengambil sesuatu di dalam sakunya. Kali ini kotak
mungil berwarna merah. Dibukanya pelan kotak itu, di dalamnya ada sebuah cincin
bermata satu berwarna silver. “Na, kamu mau kan jadi Nyonya Lio?”
“Itu
kalimat paksaan.”
“Oke aku
ralat. Na, bersediakah kamu mendampingi hidupku, menjadi Nyonya Lio sekaligus
pemilik Brownies Telo Liora?”
“Maaaaauuuu.”
jawab Retno penuh rasa haru. Matanya berbinar. Rasanya tak ada yang lebih
bahagia dari saat itu.
Menurut
Lio benar, tak ada suatu yang kebetulan, yang ada adalah Tuhan telah menuliskan
setiap kejadian untuk setiap manusia. Semua yang tertulis pastilah yang terbaik
menurutNya, dan sesuai dengan apa yang kita butuhkan. Semua kan indah pada waktunya,
pasti, aku percaya itu
– Ratna.
Komentar
Posting Komentar