Sepotong Ayam untuk Sebuah Senyuman



Dia pulang. Tepat pukul tujuh malam, ketika aku baru saja menyelesaikan pekerjaanku sehari-hari. Mulai dari bersih-bersih rumah, mencuci, menyetrika, juga memasak. Kebetulan hari ini aku libur bekerja, syukurlah aku jadi bisa lebih fokus mengerjakan pekerjaan rumah.

Dia pulang dan membiarkan aku menghampirinya sia-sia. Dia seakan tak pernah menganggapku ada. Sesampainya di rumah, dia tak pernah mengucap salam terlebih dahulu, mencium keningku terlebih dahulu, atau bahkan mengucapkan kata-kata manis yang kiranya bisa membesarkan hatiku. Semua itu tak pernah dia lakukan. Dia, suamiku.

“Naura, masak apa hari ini?”

“Cuma ada tumis kangkung sama tempe goreng, Mas,” ucapku lemah.

Braaakkkkk!! Suara bantingan pintu kamar terdengar keras. Tanda bahwa dia tak menyukai menu yang aku sajikan.

“Uangku udah nggak cukup buat beli ayam, Mas,” teriakku berharap dia mau keluar kamar dan memakan apa yang sudah aku masak. Nyatanya? Hening, tak ada jawaban.

Kicauan-kicauan dalam diri mulai mengusik. Naura, apa kamu nggak capek begini terus? Sampai kapan?

“Bu, SPP bulan lalu juga belum dibayar. Minggu depan kan udah ujian, kalo belum dibayar juga, Aris nggak boleh ikut ujian,” tiba-tiba saja suara anakku memecah lamunanku.

“Sabar ya sayang, tiga hari lagi Ibu gajian kok.”

Aku lagi. Sebenarnya hal ini sudah cukup lama terjadi. Aku bekerja, berusaha jadi tulang punggung keluarga, menafkahi keluarga dengan segala keperluannya. Sementara suamiku berdiri pada keangkuhannya, bersikap tak mau tahu, karena yang ada dalam pikirannya adalah hidup enak, makan enak, dan segala hal yang enak-enak.

Gajinya tiap bulan, entahlah dia gunakan untuk apa. Bahkan memberikan anaknya uang jajan adalah perkara yang sangat amat jarang terjadi. Aris sudah malas dengan ayahnya, Aris bahkan trauma karena pernah dibentak ketika dia ingin meminta uang jajan pada ayahnya.

“Mulai sekarang, minta uang jajannya sama Ibu aja ya?” ucapku menenangkan.

Aris tersenyum, raut wajah sedihnya menghilang perlahan.

***
“Mas, aku mau pinjam uang, lemari kita udah hampir roboh karena keropos dimakan rayap, jadi udah waktunya beli yang baru,” ucapku, berharap suamiku meminjamkan uang untuk keperluan kami.

“Uang? Nggak ada. Pinjam aja sama yang lain.”

“Uang puluhan juta yang ada di rekeningmu tuh ke mana Mas? Aku cuma pinjam kok, pasti aku kembaliin.”

Dia mendengus kesal, tatapannya begitu tajam padaku, wajahnya merah, seakan-akan ingin menerkamku. Aku terdiam, mengurungkan niatku untuk meminjam uang padanya.

Terkadang aku merasa tak sanggup akan semua ini, tapi aku yakin Tuhan telah memilihku karena tahu aku mampu melewatinya.

“Naura, masak apa hari ini?” teriak suamiku yang terang-terang mengejutkan aku.

“Ayam goreng, gulai daun singkong, tahu masak santan, semuanya kesukaan Mas kan?”

Senyumnya merekah, melihat potongan-potongan ayam goreng yang tersaji di atas meja. “Nah, gini dong, jadi istri tuh yang berguna sedikit lah buat suaminya.”


“Inget kolesterolmu, Mas.”

“Ah, tau apa kamu. Udah diam aja, jangan banyak omong.”


Aku mengangguk lemah. Kemudian beranjak dari kursi yang aku duduki. “Aku mau istirahat dulu ya Mas, dari pulang kerja tadi belum istirahat sama sekali.”

“Eiitss, jangan dulu lah, itu bajuku belum disetrika, sepatuku belum disemir, besok pagi-pagi aku berangkat, ada tugas ke luar kota.”

Rasanya hanya ingin menangis. Tapi entah kenapa kaki ini masih sanggup melangkah, mengikuti segala keinginannya.

***
Malam ini teman suamiku berkunjung ke rumah, aku mengenalnya, namanya Mas Pram, bisa dibilang ia adalah teman dekat suamiku. Mereka terlihat asyik mengobrol di ruang tengah, sementara aku sedang menyiapkan dua gelas teh manis hangat di dapur.

“Iya dong Pram, semua-semuanya ya hasil kerja kerasku. Uang istriku biar buat keperluan dia sendiri,” terdengar suamiku bercerita penuh bangga.

“Wah hebat kamu, istrimu pasti bahagia sekali ya punya suami macam kamu.”

“Iya dong, nih tanya aja Naura, kalo nggak percaya, iya kan sayang?”

Aku berjalan pelan mengantarkan dua gelas teh manis hangat, dan sekotak biskuit untuk mereka berdua, tanpa jawaban apapun. Kecuali sebuah senyuman yang terasa kecut.

“Naura emang gitu, kalo capek mukanya suka pucat, padahal aku udah bilang untuk pake jasa asisten rumah tangga aja, eh dianya yang nggak mau,” ungkap suamiku, membual lagi.

Ya, sepertinya membual adalah pekerjaan favoritnya, pekerjaan favoritnya setelah itu adalah memakiku, memaki istrinya sendiri. Lain cerita bila di hadapan orang lain, wajahnya tampak begitu manis.

Mulai hari ini aku akan membeli dua potong ayam, entah ayam goreng, ayam bakar, gulai ayam, ayam penyet, apapun, selama itu adalah makanan favoritnya. Satu untuk suamiku, satu lagi untuk Aris, begitu seterusnya sampai utang-utangku tak terhitung lagi banyaknya. Sementara aku, cukup memakan makanan yang ada, tak jarang makanan yang hampir basi pun aku makan, itu kulakukan demi mengirit uang belanja. Jujur saja gajiku tak sebesar gaji suamiku, tapi nyatanya Tuhan tak membiarkan aku hidup penuh sengsara, ada saja rezeki yang menghampiri secara langsung padaku, atau bahkan melalui Aris, anakku.



Seulas senyum tampak terpancar dari wajah suamiku. Aku tahu senyumnya mahal untukku. Karena hanya sepotong ayam lah yang mampu membuatnya tersenyum. Satu potong ayam untuk sebuah senyuman. Entah sampai kapan.



Ilustrasi gambar adalah milik penulis

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nostalgia pada Sebungkus Es Mambo

Kumpulan Fiksi Kilat (6 Kata)