Menanti Takjil


Aku menanti takjil datang
Seperti aku yang menantinya kembali pulang
Membawa senyumnya yang bergelombang

Setiap sore, Faisal dan emaknya berjualan takjil di depan jalan raya yang berjarak tak jauh dari rumahnya. Seringkali takjilnya habis terjual. Namun tak jarang juga meninggalkan sisa. Bila tak habis, takjil yang mereka jual pun masih bisa mereka makan sebagai menu buka puasa. Atau bisa juga diberikan kepada para tetangga. Takjil yang mereka tawarkan pun beraneka ragam, ada kolak, es buah, lontong, juga aneka gorengan.

Faisal dan emaknya memang terbilang keluarga yang tak mampu, semenjak ayah Faisal meninggal dua tahun yang lalu, mereka hanya hidup berdua di sebuah rumah yang sebenarnya sudah tak layak huni, di sekitar rel kereta. Tapi hal-hal tersebut tak membuat mereka berpikir untuk mengemis bahkan kikir terhadap sesama.

Bila bulan ramadhan tiba, Faisal yang tengah menikmati liburan sekolah, menghabiskan waktu untuk membantu sang emak, mulai dari membuat adonan, merapikan takjil yang sudah matang, hingga menjajakan takjil tersebut di tempat andalan mereka. Letaknya dekat Mall Ceria, yang bertengger di seberang rel kereta api. Setiap pukul tiga sore, penjaja takjil berjejer di sana memenuhi bahu jalan. 

"Rezeki nggak ke mana ya, Mak?" ungkap Faisal pada emaknya yang tengah tersenyum merapikan dagangannya. Sisa takjil yang masih banyak tadi, baru saja diborong oleh seorang pembeli.

"Alhamdulillah, kita bisa pulang lebih cepet dari biasanya ya."

Faisal mengangguk, tangannya cekatan membantu emaknya merapikan perabotan dagangan mereka.

**

Sudah seminggu Faisal jatuh sakit. Tubuhnya yang biasa lincah dan cekatan, kini tergeletak lemah di sebuah kamar yang hanya berisi tikar dan lemari usang. Emaknya mau tak mau harus menyiapkan segala sesuatunya sendiri, termasuk menjajakan takjil seperti biasa, meninggalkan Faisal yang sakit sendirian di rumah.

Semenjak Faisal sakit, Emak biasa pulang sekitar setengah jam sebelum waktu berbuka puasa. Emak mengaku tak tega meninggalkan anaknya yang sakit sendirian, apalagi dalam keadaan berpuasa. Ya, walau sakit, Faisal masih sanggup untuk melakukan puasa.

"Takjilnya sisa banyak ya, Mak?" suara lemah Faisal terdengar ketika emaknya mulai memasuki rumah.

"Lumayan, tadi udah Emak bagi sih ke tetangga-tetangga. Alhamdulillah yang penting berkah," senyum sang Emak sembari mengelap keringat yang menetes dari dahinya.

"Maapin Faisal ya Mak, Faisal nggak bisa bantuin Emak. Mak pasti capek banget. Besok nggak usah jualan aja Mak."

"Ya jangan dong, kita mau makan apa kalo Emak nggak jualan?"

"Makan apa aja lah Mak, yang penting Emak ada di deket Faisal."

Tak seperti biasanya, Faisal terlihat manja pada emaknya. Mungkin karena ia sedang sakit, mungkin juga karena kasihan melihat emaknya yang lelah membawa takjil-takjil yang belakangan ini sering tak laku terjual.

Esok hari, Emak tetap bersikeras untuk berjualan. Faisal tak lagi dapat mencegahnya.

"Hati-hati ya Mak," ucap Faisal sambil mencium tangan emaknya yang hendak pergi menjajakan takjil tersebut.

"Kamu juga ya."

"Iya Mak."
**
Pukul sembilan malam, Faisal masih menanti emak pulang, masih menanti takjil datang kemudian memakannya bersama. Hati Faisal berdegup kencang, menerka-nerka mengapa emaknya belum juga pulang. Hingga akhirnya sebuah berita di televisi membuat Faisal jatuh pingsan.

Seorang wanita berusia sekitar lima puluh tahun tertabrak kereta yang tengah melintas. Menurut saksi, korban bernama Mak Inah, warga Desa Beringin yang sehari-harinya berdagang takjil di samping Mall Ceria.


Aku menanti takjil datang
Seperti aku yang menantinya kembali pulang

Membawa senyumnya yang bergelombang
Tapi nyatanya ia menghilang
Tinggalkanku, pergi jauh melayang



Sumber Ilustrasi Gambar

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nostalgia pada Sebungkus Es Mambo

Kumpulan Fiksi Kilat (6 Kata)