Menatap Ramadan


Lana mengusap perutnya yang kian hari makin membuncit. Sebentar lagi bulan Ramadan tiba, dan sebentar lagi mungkin malaikat kecilnya akan terlahir ke dunia, ya ini adalah bulan kesembilan dari kehamilannya, sayang ayah dari sang bayi tersebut pergi meninggalkan Lana. Pergi karena telah memilih wanita lain.

Tujuh tahun yang lalu merupakan hari bahagia Lana dan Surya, ayah dari bayi yang dikandungnya saat ini. Pernikahan indah mereka lama kelamaan menjadi terkikis karena belum hadirnya buah hati. Lana dianggap mandul, padahal hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa Lana subur, alias tidak mandul.

Hingga akhirnya ibu mertuanya meminta agar Surya menceraikan Lana, Surya menuruti saja kata-kata ibunya, dan menerima dengan tangan terbuka wanita yang telah dipilihkan orang tuanya untuknya.

Kala itu Lana tak sadar bahwa ternyata ia tengah mengandung dengan usia kehamilan tiga bulan. Namun sayang, waktu tak bisa ia putar kembali, suaminya telah memilih meninggalkannya seorang diri, memilih untuk hidup bersama wanita lain.

"Yang sabar ya Nduk, Gusti Allah ndak tidur, banyak-banyak tahajud, minta petunjuk," ucap Ibu menguatkan Lana.

Semenjak mereka bercerai, Lana kemudian tinggal bersama ibunya di sebuah rumah kontrakan kecil berukuran 3x3 meter. Perceraiannya dengan Surya membuat Lana otomatis terusir dari rumah mewah milik keluarga Surya.

"Ibu yakin kamu orang yang kuat," lanjut Ibu meneruskan ucapannya.

Lana mengangguk tabah, menahan derai air mata yang sesungguhnya sudah tak mampu ditampungnya lagi. Aku kuat, aku harus kuat, pasti bisa, demi anakku. Batin Lana menguatkan diri.
***

Ramadan hari ke tujuh belas, seorang bayi laki-laki hadir ke dunia. Wajahnya amat mirip dengan ayahnya.

Andai saja ia lahir didampingi ayahnya. Gumam Lana haru. Nyatanya ia lahir ke dunia tanpa seorang ayah disampingnya. Hanya ada ibu dan neneknya yang juga seorang janda. Untung saja ada paman Lana yang mengambil alih tugas Surya untuk mengadzankan bayi tersebut.

"Bayimu, mau dikasih nama siapa?" suara Ibu kembali terdengar, memecah puing-puing kenangan yang tengah berserak di pikiran Lana.

"Aamal Ramadan, Aamal artinya harapan-harapan. Aamal Ramadan adalah harapan-harapan Lana di bulan ramadan, harapan-harapan baik tentunya, semoga Aamal bisa jadi 'jembatan' bagi harapan-harapan baik kita selama ini ya Bu,” jelas Lana pada ibunya.


Ada rindu yang tak mampu aku jabarkan
Rindu yang aku simpan dalam lemari
Rindu yang telah aku genggam kuat-kuat

Yang kemudian berlari mencari tuannya

Aku hanya ingin menebar harap

Harap yang kelak akan tumbuh
Menjadi sesuatu yang tak ternilai harganya

Ibunya tersenyum mengiyakan dan mengaamiinkan segala perkataan Lana. Ia lantas mengulurkan tangannya, menatap cucunya sambil menggendong Aamal dengan harapan yang sama, harapan-harapan yang baik.

***


Lana menatap Ramadan, anaknya yang ia lahirkan tanpa kehadiran seorang ayah, kini telah tumbuh semakin besar, usianya kini menginjak tahun kedua. Semangat Lana yang sempat lumpuh, kini telah hadir kembali, semua berkat Ramadan, anaknya, dan juga berkat seseorang lagi yang memiliki nama belakang yang sama, yaitu Naufal Ramadhan, yang beberapa hari ini telah resmi menjadi suaminya, menjadi orang yang akan mendampinginya seumur hidup. 


Aku kuat
Karena ada kamu di sisiku

Di sini, di sebuah tempat beratapkan langit
Aku menatap Ramadan
Yang berlari menghambur memelukku

Serta satu Ramadan lagi
Yang telah dikirimkan Allah pada saat yang tepat

Di sini, di sebuah tempat beralaskan rumput
Aku menatap dua Ramadan dengan tangis
Hanya saja, kali ini adalah dengan tangis bahagia


Sumber Ilustrasi : Menatap Ramadan

Komentar

  1. Cerpen yang bagus. Ahh, kenapa coba Surya harus meninggalkan Lana tanpa harus lebih tahu lagi kalau Lana sudah hamil?

    Yg sy suka itu, Lana tak mudah menyerah.

    Cerpennya aku suka banget ^^

    BalasHapus
  2. patuh atau rasa egois?
    cerita yang menarik mba

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nostalgia pada Sebungkus Es Mambo

Kumpulan Fiksi Kilat (6 Kata)