[Fiksi Kuliner] Mbok "Cenil" Surti


Putri Apriani, No.1

Aku suka sekali jajan pasar. Kuliner tradisional Indonesia yang sudah mulai jarang ditemui ini sebenarnya menyimpan banyak cerita, kalian mau dengar ceritaku?

Namanya Mbok Surti. Sehari-hari Mbok Surti berjualan berbagai jenis jajan pasar, mulai dari gatot, tiwul, sawut, cenil, kue pisang, kue bugis, klepon, dan banyak lagi yang lainnya. Dari sekian banyak jajanan yang dijual, aku lebih suka dengan cenil. Makanan ini terbuat dari adonan tepung kanji yang diberi warna sesuai dengan keinginan (biasanya berwarna pink, kuning, hijau), disajikan dengan parutan kelapa dan taburan gula putih di atasnya. Tekturnya yang kenyal, warnanya yang menarik serta rasanya yang manis dan gurih membuat aku menggilai kue cenil ini.

"Mbok, cenilnya sepuluh ribu ya." Begitulah kegiatanku di pagi hari setiap harinya. Karena hal tersebutlah aku menyebut Mbok Surti dengan sebutan Mbok Cenil.

Kami menjadi akrab dan dekat sekitar beberapa bulan ini. Yah semua karena cenil. Sebelum berangkat ke kantor, aku selalu menyempatkan mampir ke pasar dan membeli cenil yang dijual Mbok Surti. Usianya yang telah menginjak kepala lima tak membuatnya malas bekerja. Padahal menurut pengakuannya, ia memiliki anak lelaki yang telah mapan dalam segi ekonomi.

"Kalo bukan kita yang melestarikan jajan pasar ini, siapa lagi?" Itulah alasan Mbok Surti mengapa hingga saat ini ia masih berjualan jajan pasar, sementara anaknya telah mampu menghidupinya secara berkecukupan.

***

"Neng Sita udah punya calon belum?" Tanya Mbok Surti kepadaku, sementara tangannya masih cekatan meracik cenil pesananku.

"Lho tumben Mbok Cenil tanyanya begitu?" Ujarku dengan wajah memerah.

"Nggak apa-apa, si Mbok kan punya anak lelaki yang belum menikah, barangkali Neng Sita mau jadi mantu penjual cenil ini."

Aku tak menjawab, hanya melempar senyum sambil memberikan selembar uang berwarna hijau.

"Ini kembalinya Neng. Jadi udah punya calon belum?"

"Ah, si Mbok, Sita berangkat dulu ya?" Jawabku terburu-buru lantas meninggalkan Mbok Surti dan kembali ke mobilku menuju kantor.

Maaf mbok, sedikitpun aku tak memandang statusmu sebagai penjual cenil, tapi sudah tiga bulan ini hatiku dibuat berbunga-bunga oleh seorang lelaki bernama Dito. Lelaki santun, pekerja keras dan bertanggung jawab, ia merupakan atasan di kantorku, lebih tepatnya aku adalah sekretaris pribadinya. Sayangnya hingga detik ini ia masih cukup tertutup dan belum mengenalkan aku dengan keluarganya.

***
"Ta, aku mau serius sama kamu. Kamu gimana?" Tanya Dito padaku di sela-sela jam istirahat kantor.

"Lho, Dito, kamu nggak percaya sama aku?"

"Besok aku kenalin kamu ke ibuku ya?" Tangannya menggenggam tanganku, sementara senyum manisnya berhasil menggerogoti napasku.

"Serius?"

"Iyalah, menurutku ini udah waktunya kamu kenal sama ibuku. Ibu tuh satu-satunya harta yang aku punya saat ini setelah ayah meninggal empat tahun lalu. Ibuku itu pekerja keras walau usianya udah nggak muda lagi. Aku bangga banget sama beliau. Semoga kamu bisa cepat akrab ya sama ibu."

Aku mengangguk cepat, tak sabar menunggu hari itu datang.

Keesokan harinya aku diajak ke sebuah rumah sederhana. Bahkan sangat sederhana untuk ukuran manajer perusahaan ternama seperti Dito.

"Biasanya, setiap pagi ibuku jualan kue di pasar, tapi hari ini nggak, demi ketemu kamu." Dito menjelaskan padaku.

Berjualan kue? Oh ternyata ibu Dito seorang penjual kue? Ah, aku jadi ingat Mbok Cenil. Batinku.

"Sebentar ya, aku panggil ibu dulu."

Aku tengah melihat-lihat foto yang berjejer rapi ketika suara seorang perempuan paruh baya memanggilku.

"Neng Sita?"

"Lho ibu udah kenal sama Sita?"

Aku terkejut, kemudian membalikkan badanku. Suara dan wajahnya memang sudah tak asing bagiku. "Mbok Cenil?"

Beberapa detik kami sempat saling melemparkan pandangan, beberapa saat kemudian kami saling tersenyum dan berpelukan.

"Bu, ini Sita, calon istrinya Dito, kalo ibu setuju lho."

"Ya Allah Gusti, Dito, Neng Sita ini langganan Ibu, setiap hari dia beli cenil Ibu, tempo hari Ibu tanya ke Neng Sita soal calon suami, tapi Neng Sita cuma senyum, nggak pernah jawab apa-apa. Ibu ini udah ngarep banget lho Neng Sita jadi mantu Ibu. Tapi mungkin Neng Sita malu ya punya mertua penjual cenil? He..he..he.."

"Nggak Mbok, bukan begitu, Sita nggak malu kok kalo punya mertua penjual cenil, cuma Sita kan udah punya Dito, dan Sita nggak tau kalo Dito anaknya Mbok Cenil."

"Jadi Ibu setuju nih kalo Sita jadi menantu Ibu?" Lirik Dito pada ibunya.

"Udah nggak usah ditanya lagi, kapan kalian mau nikah?"

Rezeki, jodoh, usia, itu semua merupakan rahasia Tuhan. Tak akan pernah ada yang tahu, kapan kita akan menikah? Dengan siapa kita akan menikah? Seperti aku yang tak pernah tahu bahwa Mbok Cenil nyatanya akan menjadi ibu mertuaku, ya sebentar lagi hal itu akan terwujud. Secepatnya.


Diikutsertakan dalam Event Fiksi Kuliner, Fiksiana Community


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nostalgia pada Sebungkus Es Mambo

Kumpulan Fiksi Kilat (6 Kata)