[Nggak] Kekinian ala Aldo



Malam itu, Aldo dan kawan-kawannya tengah berkumpul, dan terlibat dalam perbincangan yang cukup seru.

“Vroh, wiken besok ngetrip lagi yok ke Lombok?” ajak Remi pada teman-temannya.

“Aldo, lo harus ikut yak, nggak ada alesan,” Pandu menimpali.

Aldo menggeleng. “Kali ini gue absen dulu deh.”

“Kenapa?” tanya Raja.

Aldo menggeleng lagi, wajahnya seperti sedang menyiapkan sebuah jawaban.

“Ah, nggak asik lo vroh! Lagi mager[1] lo ya? ” ketus Andre.

Kemudian Aldo menepuk bahu Pandu yang kebetulan sedang duduk di sampingnya. “Udahlah kalian aja yang pergi, lain waktu gue ikutan deh.”

Aldo mengumbar senyum pada keempat temannya yang sedang kompak memasang muka masam. Dari kesemuanya, memang Aldo lah yang paling sering absen dalam kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan. Uniknya, Aldo merupakan anak yang cukup pendiam dan tertutup, tak heran teman-temannya sering dibuat jengkel dengan tingkat ke-cool-annya yang sudah di ambang batas.

***
Aldo, berbeda dengan teman-temannya yang lain, yang memilih mengisi jam kuliah kosong dengan nongkrong di café, nonton bioskop, atau sekedar jalan-jalan di mall, ups, opsi terakhir berlaku bagi mereka yang bukan termasuk golongan fakir cinta, alias bukan jomblo, alias yang memiliki pacar.

Aldo berbeda, ia memilih menambah uang jajannya dengan cara memeras keringatnya sendiri, apapun yang penting halal. Kadang ia menjadi driver ojek online, kadang juga membantu sepupunya mengurus distro yang beberapa bulan ini baru dibuka, kadang pula hobi menulisnya membawa berkah baginya. Hasil dari semuanya itu ia kumpulkan, dan ia tabung dengan cermat.

Tak heran teman-temannya merasa heran, karena dengan penghasilan tambahan, Aldo belum juga bisa membeli sepatu baru untuk mengganti satu-satunya sepatu yang ia miliki. Ia beralasan bahwa sepatunya itu adalah sepatu kesayangan. Urusan gadget juga Aldo tak mau ambil pusing, tak seperti teman-temannya yang kelabakan bila ada gadget keluaran terbaru. Padahal teman-temannya juga tak jarang membully Aldo, berkat kesetiaannya terhadap ponsel favoritnya tersebut.

“Ganti dong hape lo, kayak punya gue nih, biar kekinian,” pamer Raja yang kemarin baru saja membeli handphone keluaran terbaru, yang harganya dibanderol di atas sepuluh jutaan.

“Duit gue nggak cukup buat beli hape kaya lo, Ja.”

“Nggak cukup gimana, Do? Bokap nyokap lo adaan, orang kaya, lo juga kerja sana-sini, terus duitnya buat apa dong?”

“Ada lah, kepo banget sih lo,” jawab Aldo sambil tertawa.

Raja mengernyitkan keningnya. Lagi-lagi Aldo membuatnya heran. Dari segi ekonomi, Aldo memang tergolong berasal dari keluarga yang cukup mampu. Papa dan mamanya Aldo pasti bersedia dan sanggup merogoh kocek yang tak sedikit demi memfasilitasi anak semata wayangnya itu. Hebatnya, Aldo bukanlah anak yang manja, yang bisanya menadahkan tangan atas materi yang dimiliki oleh kedua orang tuanya. Dan satu lagi, hanya teman-teman dekatnya lah yang mengetahui keadaan keluarga Aldo, sementara teman lainnya hanya mengetahui bahwa Aldo adalah anak yang berasal dari keluarga sederhana.

***
Siang selepas jam kuliah usai, Aldo dan teman-temannya menuju kantin. Seperti biasa, obrolan demi obrolan pun meluncur dengan deras.

“Do, lo piknik kek sekali-kali biar kekinian, kasian idup lo nggak pernah piknik,” celetuk Roni.

Aldo tersenyum, Raja yang juga ada di tempat yang sama tampak gusar. “Sok tau lo, Ron. Tau dari mana Aldo nggak pernah piknik?” ketus Raja.

“Keknya emang nggak pernah deh, gue nggak pernah liat foto dia piknik ke mana gitu,” Roni mengira-ngira.

“Udah sih, udah, ngapain juga ngeributin hal yang nggak penting, kalian woles aja lah, tenang,” ucap Aldo dengan tenang.

“Ke perpus yok, Do. Bete gue di sini,” ajak Raja pada Aldo.

Aldo mengangguk, tangannya meraih sedotan dan menghabiskan es jeruk yang masih tersisa setengah gelas. “Iya bentar.”

“GC[2], nggak pake lama.”

Mereka bergegas meninggalkan meja kantin yang masih menyisakan Roni. Roni memang dikenal sebagai orang yang sok tahu. Baginya dia adalah mahasiswa yang paling ngehits di kampusnya, tak ada yang mampu menandinginya, siapapun itu. Tempat yang pernah orang lain kunjungi, merupakan tempat yang juga pernah Roni kunjungi, bahkan berkali-kali, begitu pemikiran Roni selama ini.

***
Aldo menuju ke sebuah ATM yang letaknya tak begitu jauh dari kampusnya. Tanggal lima, di setiap awal bulan adalah jatah Aldo mentransfer sebagian uangnya untuk disumbangkan ke sebuah panti asuhan yang telah menjadi ‘langganannya’ selama ini. Sudah beberapa tahun belakangan, ia rutin berderma ke panti asuhan tersebut.

Sementara, ia juga mengambil sebagian uangnya lagi untuk keperluan yang lain. Bergegas ia menuju ke sebuah mini market yang letaknya bersebelahan dengan ATM tersebut. Diambilnya keranjang yang kemudian diisinya beberapa buah sembako yang terdiri dari minyak goreng, gula pasir, susu, teh celup, mie instan, dan lainnya. Setelah semuanya selesai, Aldo kemudian memacu motornya, menuju ke sebuah tempat.

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam, eh adik-adik, Kak Aldo datang nih,” seru seseorang yang merupakan pengurus dari sebuah yayasan, tempat di mana anak-anak yatim piatu tinggal. Serentak adik-adik yang tengah duduk menunggu adzan itu, ramai-ramai menghambur pada Aldo.

Aldo menyerahkan bungkusan sembako yang tadi ia beli. Sembako yang ia beli dari hasil keringatnya sendiri. Dari sini lah ia belajar menghargai hidup, baginya tak mengapa ia disebut ‘nggak gaul’ atau ‘nggak kekinian’ karena masih banyak anak-anak yatim piatu yang membutuhkan uluran tangannya, mereka yang membutuhkan sebagian saja dari rezeki yang Aldo miliki.

Kamus :
[1] Mager : Males gerak
[2] GC : Gerak cepat



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nostalgia pada Sebungkus Es Mambo

Kumpulan Fiksi Kilat (6 Kata)