Selepas Hujan Reda


Selepas hujan reda
Aku mencoba mencari warna
Yang tersembunyi di balik mega

Namaku Rani, ini ceritaku.
Usiaku enam tahun pada saat itu. Duduk di bangku kelas 1 SD adalah hal baru yang pastinya membahagiakan bagi kebanyakan anak kecil seusiaku. Bertemu dengan teman baru, guru yang menyenangkan, diantarkan oleh kedua orang tua, oh tapi untuk hal yang terakhir itu aku tak merasakannya.

Ibuku mengalami kecelakaan saat aku baru saja merasakan cerianya masa SD. Ya, baru dua minggu. Kaki ibu tak bisa lagi berjalan semenjak itu. Ibu sudah tak bisa lagi bekerja sebagai buruh cuci. Sementara ayah, ah sepertinya aku tak ingin menyebutnya lagi sebagai ayah, ia mungkin lebih pantas aku panggil dengan sebutan, lelaki bajingan?
Lelaki bajingan itu lebih memilih membawa seluruh uang yang kami punya, dan menikah lagi dengan perempuan lain yang tak kalah bejatnya.

Untuk hidup sehari-hari pun kami bergantung dengan orang lain, lalu bagaimana aku akan membawa ibu ke Rumah Sakit? Rasanya mustahil.

**

Pada sebuah sore selepas hujan, Rani melihat ibu tampak duduk sambil menggenggam sesuatu di beranda rumah, pandangannya menerawang jauh, jauh sekali. 


Rani mendekati sang ibu, kemudian memeluknya dari belakang, tampak sesuatu yang digenggam ibunya, sebuah foto! Itu foto ayah!


"Bu, di sini dingin, masuk yuk." Ucap Rani sambil mengelus punggung ibunya.


"Eh, ehm Rani? Kamu dari tadi di sini, Nak?"


Rani menggeleng, lalu bertanya kepada ibunya. "Ibu kangen sama ayah?"


"Kemarin ibu bertemu ayahmu, kondisinya benar-benar memprihatinkan. Dia minta maaf pada ibu, ayahmu ingin kita bersama lagi, bahagia lagi seperti dulu." 


Rani tampak terdiam, menghela napas sejenak. "Ibu ingin kembali?"


"Apa salah bila ibu ingin kembali? Bagaimana pun juga ia ayahmu."


"Ayah? Lelaki brengsek itu? Masihkah pantas disebut sebagai ayah? Setelah kita sudah bahagia tanpa dia, Bu? Setelah hidup kita sekarang berangsur membaik? Setelah kita sekarang punya segalanya, tanpa harus mengemis pada orang-orang, di mana letak hati lelaki brengsek itu, Bu?"


Kenangan pahit beberapa belas tahun lalu tak dapat menahan amarah Rani. Dulu, ia dan ibunya berjuang bersama, berbekal beasiswa yang ia terima, Rani dapat meneruskan sekolah hingga ke jenjang perguruan tinggi. Ibunya juga mulai bangkit dengan memulai bisnis kuliner kecil-kecilan, sang ibu sembuh total dari kelumpuhannya, kemudian setelah Rani lulus kuliah, mereka meneruskan bisnis tersebut secara bersama-sama. Restoran yang mereka rintis kini telah buka di beberapa cabang. Tuhan memang tak pernah tidur, tak pernah membiarkan mereka terus mendekam dalam keterpurukan. 


"Istighfar, Rani...." Teriak ibu sambil merengkuh tubuh anaknya itu, tangisnya pecah dalam pelukan Rani.


Ia adalah perempuan tangguh
Walau seringkali kau menganggapnya rapuh
Cintanya, kasihnya, setianya padamu sempat kau bunuh
Meninggalkan derai luka yang kian luruh

Bersamaan dengan hujan yang berlarian gaduh
Kenangan bersamamu telah dimakamkan seluruh
Ia mencoba tetap teguh
Bercinta dengan butir-butir peluh
Kini, setelah semuanya berubah, kau berharap ia kembali luluh?

Rani meninggalkan ibunya menetap sendiri di beranda, berlari ke arah kamar kemudian membenamkan tubuh di sofa kesayangannya, kepalanya mendadak terasa berat, pandangannya memutar. Di dinding kamarnya, yang terlihat hanya tayangan masa lalunya yang begitu pahit. Tayangan pedih yang sudah ia kubur dalam-dalam nyatanya kini muncul kembali. Semangat hidupnya yang sempat membara selepas kepergian ayahnya, kini seperti luntur kembali.
Akankah sama?
Cinta yang dahulu pernah bertahta
Yang pernah tergores luka
Dan dibiarkan membeku begitu lama
Aku tak mampu menjawabnya

Akankah sama?
Bila aku kembali menerimanya?
Berpura-pura bahagia 
Menutup rapat semua kecewa
Entah apakah harus percaya
Pada mulut yang terbiasa mengobral kata

**

Pagi itu, ada seulas senyum yang terbit dari bibir sang ibu, senyum yang tampak lebih bersinar dari biasanya. Di samping ibunya tampak seorang lelaki yang wajahnya begitu mirip dengan anak semata wayangnya -- Rani -- mereka tampak begitu bahagia, sebelum menemukan sepucuk surat di kamar Rani. 

Aku mencintaimu, Ibu
Tapi bukan berarti kita harus tenggelam lagi
Kan kubiarkan kebahagiaanmu
Hidup bersama dia, lelaki yang kau cintai

Tapi biarkan aku pergi
Karena memang lebih baik seperti ini

-Maharani-



Ilustrasi Gambar
Juga dipublikasikan di : Kompasiana

Komentar

  1. Balasan
    1. Tante Lis, waaak mirip bagian mananya tan?
      Maaf kalo mirip ya, dapet idenya sih pas nonton tv, di situ ada berita ttg anak kecil, perempuan, usia 6 tahun harus merawat ibunya yang lumpuh karena kecelakaan, sementara si ayah ninggalin mereka dan nikah lagi sama perempuan lain. Nah sisanya saya terusin sendiri hhehe :D

      Cukup sekian dan terima kasih ;)

      Hapus
    2. Lha iya mirip sama berita tivi itu... Jadi lain karena diteruskan, difiksikan.
      Kok baris terakhir jawab komennya nggak enak sih?

      Hapus
    3. Kirain mirip sama fiksi tante Lis, kan tante nggak bilang mirip sama apa? :P

      Waaaaak? Nggak ngenakin? Masa sih? Padahal itu bercanda lho, ciyus! Makanya emotenya kedip:D
      #salamwoles

      Hapus
  2. kok mirip cerita bikinan guweh sih put...!!!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lah emang situ punya cerita vroh? Ati-ati darah tinggi kumat =D

      Hapus
    2. Buseh cerita guweh banyak keleeessss....hhhhmmmm penyakitan x ah...🙌🏻🙌🏻

      Hapus
    3. Wah bener nih orang, kudu disiram aer seember biar adem :P =D

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nostalgia pada Sebungkus Es Mambo

Kumpulan Fiksi Kilat (6 Kata)