Penjual Kopi yang Bangun Kesiangan
Sepuluh menit lagi menuju pukul sebelas malam.
Salim sudah hampir selesai merapikan kumpulan bangku dan meja di kedai kopinya.
Kedua karyawannya baru saja pulang beberapa menit yang lalu.
Temperatur ruangan menjadi semakin dingin,
bersamaan dengan datangnya seorang wanita berbaju serba putih. Bergegas ia
mendekati wanita berambut panjang tersebut sambil menyodorkan daftar menu.
“Mau pesan apa, Kak? Silahkan, ini daftar
menunya.”
Yang ditanya tak menjawab,
“Yang sedang hits di sini ada Kopi Tubruk Lari, Kopi Susu Lin Mantan Ke
KUA, Kopi Saya Bundar, dan Kopi Pahitnya Masa Lalu, jadi mau pesan yang
mana Kak?” Salim mencoba menjelaskan daftar menu yang ia tawarkan tadi.
Mulutnya masih terkunci, tak bicara sepatah
kata pun. Jarinya yang putih pucat menunjuk sebuah gambar bertuliskan ‘Kopi
Tubruk Lari’.
Tanpa
perlu berbasa-basi, kaki Salim yang gemetar beranjak menuju pantry. Mungkin sedang mogok bicara, batin Salim
menenangkan.
Secangkir kopi telah selesai dibuat. Salim
kembali menuju meja nomor 13, di mana wanita misterius tadi duduk berdiam diri.
Mata Salim terus mencari, ruangan mendadak
kosong, tak ada siapapun di dalamnya kecuali dirinya sendiri. Apa mungkin wanita tadi menghilang? Kali
ini bukan hanya kakinya saja yang gemetar, tubuhnya juga bermandikan keringat.
Deg! Hatinya berdebar kencang, sebuah tangan
mampir di pundak Salim dengan tepukan yang sangat keras.
**
Salim terbangun. Ia mendapati kedai kopinya
telah kedatangan beberapa pembeli. Dua karyawannya dengan sigap melayani dengan
ramah. Sepertinya mereka membiarkan Salim yang tak sengaja tertidur di salah
satu meja, ya meja nomor 13!
Jadi yang semalam itu nyata atau mimpi? Batin Salim bertanya-tanya.
Seorang wanita cantik tiba-tiba masuk ke kedai
kopi Salim dengan anggunnya. Menebar senyum, membuat beberapa pengunjung
kewalahan menjaga mata pasangannya yang jelalatan. Salim kenal betul siapa
wanita itu.
“Masih ingat kopi favoritku?” Sang wanita
membuka pembicaraan.
Salim gelagapan, matanya justru terfokus dengan
bibir merah lawan bicaranya. “Secangkir green
coffee tanpa gula, masih sama bukan?” Jawab Salim mencoba tenang.
Wanita anggun itu mengangguk manis. Senyumnya
masih sama indahnya seperti dulu, membuat Salim semakin tak mampu mengontrol
detak jantungnya yang sedari tadi berlari ke sana kemari.
“Aku pesan dua,” wanita itu menambahkan, Nindya
namanya, tapi dulu aku lebih suka memanggilnya dengan sebutan Sayang, Love, Darl, dan sejenisnya.
“Dua? Untuk kamu dan…. aku?”
“Oh, bukan. Satu cangkir lagi untuk Rio
tunanganku, sebentar lagi dia akan menyusul ke sini.”
Salim membalikkan badannya menuju pantry. Dua
cangkir green coffee tanpa gula ia
racik sendiri dengan raut kecewa.
Nyatanya kedatangan Nindya adalah hal yang lebih menyeramkan daripada
kejadian aneh tadi malam. Salim menyerah, setelah dua cangkir green coffee ia letakkan di meja, ia
meninggalkan kedai kopinya dengan segera. Sepertinya tubuh dan hatinya butuh
istirahat yang panjang.
**
Sumber Ilustrasi Kedai Kopi
Juga dipublikasikan di Kompasiana
Horeee... Mbak Put nge-blog lagiii!
BalasHapusHihihiiiii, Tante :))
Hapus