Pawang Hujan
Beberapa waktu yang lalu
para warga berbondong-bondong mendatangi rumahku, air telah membanjiri penjuru
kampung, padahal musim hujan belum tiba. Dan aku dianggap sebagai orang yang
bertanggung jawab atas kejadian tersebut.
Memang belakangan ini,
di setiap malam tiba, bunyi petir menggelegar kemudian diikuti dengan suara
hujan yang begitu deras, datang tiba-tiba, mengejutkan warga kampung yang
tengah terlelap. Suara-suara tersebut, suara yang tak lain berasal dari kamarku
sendiri.
Sudah hampir sebulan ini
aku tidur di ruang tamu, setelah pertengkaran hebat tempo hari, membawa bantal
dan gulingku ikut serta menemani aku meninggalkan kamar.
Lastri istriku,
sepertinya teramat kesal dengan permintaanku. Permintaan yang sederhana
menurutku. Padahal secara tidak langsung permintaanku ini mengajarkan dia untuk
lebih ikhlas, ikhlas berbagi suami dengan perempuan lain. Aku pun tak gentar
menawarkan beberapa pilihan, mulai dari perempuan sederhana yang masih lugu,
yang masih dengan mudahnya dibohongi dengan berbagai macam rayuanku, sampai
dengan wanita bergincu merah tebal berpakaian seksi, yang rela sekujur tubuhnya
disentuh oleh pria-pria berdompet tebal, yang matanya akan menyala bila
melihat berlembar-lembar uang berwarna merah.
Semenjak itu, Lastri
yang dikenal lembut dan santun berubah menjadi seorang yang pemarah, ia sering
mengeluarkan guntur dan bulir-bulir hujan dari sudut matanya hingga hampir saja
menenggelamkan kampung kami – banjir air mata.
Sumber ilustrasi gambar
Komentar
Posting Komentar