Sisir
Rambutnya panjang, rambutnya indah, rambutnya berkilau bak model iklan shampo. Ah, ia memang pernah dikontrak sebagai bintang iklan sebuah shampo yang cukup terkenal.
Namanya Jenny, usianya seperempat abad. Rambut adalah mahkota, itu
adalah benar, lihat saja rambut Jenny, kalian terpukau bukan? Rambutnya tak
pernah berganti model, hanya panjang, hitam dan lurus, rambutnya tak pernah diikat,
selalu tergerai memesona. Ah, tangan nakal lelaki seringkali tak kuat ingin
menyentuhnya.
Jenny, nyatanya tak hanya rambutnya yang indah, lihat tatapan
matanya yang teduh, lihat bibirnya ketika ia berbicara, bibirnya yang merah
jambu bahkan selalu bertutur manis.
Ada yang unik dari sosoknya. Ia suka mengoleksi barang yang
berkaitan erat dengan rambut. Kalian tahu kan itu apa? Sisir! Ya, ratusan sisir
menghiasi meja riasnya. Berbagai jenis warna dan bentuk yang unik membuat siapa
yang melihatnya berteriak, "lucunyaaa.." dan tentunya ingin
memilikinya.
Namun beberapa bulan belakangan Jenny mulai tak suka mengoleksi
sisir, bukan karena sudah tak menemukan lagi bentuk sisir yang lucu, bukan pula
karena tak ada lagi wadah yang mau menyimpan sekelompok sisir itu.
Sisir-sisir cantik tersebut kini jadi milik adiknya, yang juga
berambut panjang. “Ambillah, aku sudah tak butuh benda ini lagi.”
Jenny menghadapkan wajahnya pada sebuah cermin. Setahun lalu dokter memvonisnya menderita kanker otak stadium 3, bahkan mungkin usianya tinggal menunggu waktu. Wajahnya yang dulu
berseri, kini tampak pucat. Rambutnya yang selalu ia banggakan, kini semakin
tipis, dari hari ke hari rambutnya mengalami kerontokan. Rontok yang sangat
parah. Tubuhnya kurus kering. Dari hidungnya sering mengeluarkan darah yang berarti mimisan. Matanya layu, senyumnya getir. Adiknya memeluk
erat sambil menangis. Lalu dengan tenang ia mencoba menghentikan tangis adiknya, walau sebenarnya, tangisan di dalam hatinya lebih keras dari itu. “Tak ada yang harus ditangisi, aku baik-baik saja. Rawat
baik-baik sisir Kakak ya?”
Komentar
Posting Komentar