[Bulan Motivasi RTC] Kejutan Tuhan untuk Kirana
Tim-Moon Emas
Esok adalah hari ulang tahunku. Kamu tahu, aku tak pernah
memimpikan pesta mewah, cukup sederhana saja, asal hari indah itu aku lewati
bersama kamu, Keenan, kekasih yang telah setia menemani selama empat tahun.
Hatiku semakin bahagia ketika ingat bahwa hari pernikahan kita sudah di depan
mata, ya semenjak kau sematkan cincin ini di jari manisku. Semenjak kau ucapkan
kata "Kirana, maukah jadi pendamping hidupku?"
Betapa bahagianya aku, kala itu aku merasa akulah wanita
yang paling bahagia di muka bumi, membayangkan duduk di pelaminan bersamamu,
satu-satunya lelaki yang membuatku jatuh terlalu dalam. Membayangkan tulisan
indah di resepsi pernikahan kita, mengukir nama kita berdua. Keenan dan Kirana.
Dan hari ini tepat hari ulang tahunku, kamu memberikan aku
sebuah kejutan, kejutan yang tak kuduga, kejutan yang tak pernah terpikirkan
sebelumnya.
Pagi ini, kamu menelponku. Aku menerimanya dengan sedikit
ragu, karena tak seperti biasanya kamu menelponku di saat jam sibuk kantor.
"Sayang, kamu lagi sibuk nggak? Aku butuh bantuanmu.
Bisa bantu aku?" Nadamu sendu dan sedikit memelas padaku. Tanpa berpikir
panjang, aku langsung mengiyakan permintaanmu, tanpa aku tahu maksud dan
tujuanmu. Semua aku lakukan karena aku benar-benar menyayangimu Keenan,
batinku.
Siang ini, tepat pukul dua. Kamu menjemputku. Tanganmu
menggeggam seikat bunga warna ungu. Terselip pula satu bungkusan mungil, pun di
bungkus dengan warna ungu.
Cantik! Bukankah itu warna kesukaanku sayang? Pikirku, dalam
hati, malu untuk mengungkapkan secara langsung padamu. Tapi ada yang aneh, tadi
suaramu lemah saat menelponku? Sementara sekarang? Wajahmu memperlihatkan
senyuman, walau agak ragu. Ada apa Keenan? Ada apa denganmu?
Demi rasa cinta yang aku miliki, tanpa curiga aku menurut
saja saat tanganmu membimbingku masuk ke dalam mobilmu yang sudah parkir di
depan halaman rumahku. Dan tentu saja dengan iringan senyum mama yang memberi
izin pada kita untuk pergi sore itu. Begitulah, tak lama kemudian, kita sudah
berada di keramaian kota. Kamu menyetir mobil itu sambil sesekali melihat ke
arah kaca spion, memandangiku dengan senyumanmu yang melumpuhkan sepersekian
detik kerja otakku. Aku tahu itu, karenanya berapa kali aku merasa ada sesuatu
yang hangat di pipiku. Aku malu diperlakukan seperti itu. Kamu berhasil
membuatku salah tingkah, Keenan.
Kamu memberhentikan mobilmu di sebuah tempat. Kemudian
mengambil sebuah kain untuk menutup mataku. "Ah, Keenan kejutan apa yang
akan kau berikan padaku?". Kamu hanya tertawa, kemudian membimbingku ke
sebuah tempat.
"Hati-hati jalannya Kirana." Katamu padaku saat
kakiku melangkah ke tempat yang kau inginkan.
Semakin aku melangkah, semakin aku mendengar suara musik
yang mengalun lembut. Keenan mengajakku duduk di kursi yang telah disediakan.
Setelah itu kain penutup mataku pun dibuka. Aku takjub, aku benar-benar tak
menyangka..
“Keenan..!! Kau begitu memanjakanku.” Ucapku di sela-sela
keterkejutanku. Musik yang aku dengar begitu syahdu, mengalun indah di
telingaku.
Kemudian, Keenan berbisik padaku, "sebentar ya
sayang." Ungkapnya sambil berjalan menjauhiku.
Naluri wanitaku langsung tersentak. Lirih, bisikkan Keenan
tak seperti biasanya. Ada nada kegembiraan terpancar dari binar matanya. Dan,
aku terkejut. Nyanyian syahdu yang aku nikmati tadi, diganti dengan alunan
suara yang begitu indah dan merdunya. Suara yang selama ini aku rindu. Suara
yang membuatku terharu.
"Keenan, ada apa sayang?" Lirihku bergumam.
Keenan hanya melemparkan senyum, tangannya dengan lembut
mengandeng tanganku menuju meja kecil yang di atasnya diletakkan sebuah kue
ulang tahun yang sangat indah. Keenan memang luar biasa..
"Keenan, semua ini untukku?" Mataku berbinar.
"Iya sayang, kamu suka kan?"
Aku hanya mengangguk dan tersenyum, aku kehabisan kata.
"Kirana, izinkan aku membahagiakanmu untuk terakhir
kalinya." Tangan Keenan menggenggam tanganku, tatapannya tajam, seakan
sedang menelusuri kedalaman hatiku.
Aku terpanah! Panah itu menembus jantungku. "Terakhir
kalinya? Maksud kamu apa Keenan?"
"Maaf, karena aku tak bisa meneruskan pernikahan
kita." Ucapmu sambil menundukkan kepalamu.
Senyumku menghilang bersamaan dengan kata-katamu barusan.
"Keenan, aku nggak ngerti maksud kamu apa?"
Keenan melepaskan tanganku, sejurus kemudian ia lenyap dari
pandanganku. Kini aku sendiri di sebuah pesta yang indah, indah dalam waktu
hitungan detik. Entah apa salahku, aku tak tahu.
Mendadak aku tersadar, Keenan harus menjelaskan. Dia tak
bisa semudah ini pergi meninggalkanku. Aku pun segera bangkit, mengejarnya.
Biar bagaimanapun aku butuh penjelasan akan keputusannya. Tepat saat kakiku
mencapai pintu, mataku menemukan mobil Keenan sudah melaju pergi. Sial, aku
terlambat.
Seminggu berlalu dan Keenan semakin hilang dalam hidupku.
Aku terus berusaha mencarinya namun tak kunjung berhasil. Aku seakan dipaksa
menguburkan cintaku hidup-hidup semenjak Keenan menghilang.
Astrid, sahabatku, mungkin dia tahu di mana Keenan sekarang.
Aku mencoba menghubunginya, namun tak pernah ada jawaban. Hingga akhirnya
sebuah foto beredar di media sosial.
Foto pernikahan sepasang kekasih yang tampaknya begitu
bahagia. Lalu apanya yang aneh? Itu hal lumrah yang dirasakan setiap pasangan
di hari pernikahannya. Bahagia. Tapi tunggu, sepertinya aku kenal dengan
mempelai lelaki tersebut. Itu Keenan! Ya, itu Keenan! Dan perempuan di
sebelahnya tak lain adalah sahabatku sendiri, Astrid!
Tanpa menunggu lama, air mataku banjir di pipi, aku lemas
seketika. Keenan dan Astrid, dua orang yang selama ini aku sayang, dua orang
yang selama ini aku percaya.
"Aku harus segera bertemu dengan mereka. Aku butuh
penjelasan mereka, bagaimanapun caranya."
***
Pagi ini, aku menyeret langkah lelahku, mendekati daun
jendela. Ya! Sebulan sudah berlalu, setelah kejadian yang sangat indah dalam
hidupku. Indah sekaligus menyesakkan. Itu gumamku, dalam sisa-sisa keresahan
dan kepedihanku.
Aku lempar pandanganku, di halaman rumah, pandangan mataku
tertuju pada serumpun melati yang kita tanam berdua waktu itu. Ya, melati
adalah bunga kesayanganku dan juga bunga kesayanganmu, katamu waktu itu. Entah
itu adalah caramu menyenangkan hatiku atau melati memang bunga kesayanganmu?
Aku tak tahu, hanya Tuhan yang tahu semuanya. Ketulusan dan keikhlasan cintamu
untukku. Serumpun melati, lambang kesuburan cinta kita. Tapi.. Aku tak pernah
menyangka sebelumnya. Bahkan tak pernah terpikirkan bahwa kamu berbeda dari apa
yang aku pikirkan.
Kala itu, langit telah menghapus tangisannya
Ilalang datang menjemput, membawa pesan
Mau dibawa ke mana serpihan luka ini?
Dilempar ke laut agar tak pernah kembali?
Dibakar habis menjadi abu?
Atau tetap akan disimpan rapat-rapat dalam hati?
Menunggu busuk dan bau menyengat datang?
Ada belati tergeletak tak bertuan
Kamu mulai mengasahnya sejak lama
Katamu, belati itu akan kau gunakan untuk membunuh rindu
Rindu kita yang berjarak
Agar cinta kita semakin dekat
Cinta kita yang seakan tak kenal usang
Tapi waktu yang diam, kini mulai berani bicara
Ditemani takdir yang tak mampu aku pahami
Yang tak mampu aku lawan
Adakah penawar takdir?
Agar semua berjalan sesuai rencanaku
Aku harus membelinya di mana?
Pada akhirnya Tuhan yang berbaik hati menunjukkan semua
Topengmu hancur
Dan kau kini tak mampu lagi berkata
Selain mengiyakan tanda seruku
Tepat di hari yang seharusnya jadi hari bahagiaku, di hari
kelahiranku. Keenan menusukkan belati tajam itu tepat di jantung hatiku.
Napasku sesak bukan main, aku lumpuh seketika.
Laki-laki yang telah kupercayakan untuk mendampingi sisa
hidupku, nyatanya bermain api di belakangku, dengan sahabat terbaikku. Entah
apa alasan mereka, rasanya aku tak ingin lagi peduli. Cukup dengan tak mengenal
mereka lagi, sudah cukup membuatku damai.
***
Tapi kejutan indah sekaligus menyakitkan itu sudah lama
berlalu. Aku tidak perlu merasa benci lagi pada kedua manusia yang tidak
mengerti arti persahabatan itu. Kupikir aku bahkan merasa paling bahagia
dibanding mereka. Suamiku dokter dan kedua anakku merupakan kebanggaan kami.
Hari ini aku berulang tahun lagi, setelah beberapa tahun kulalui tanpa perayaan
namun saat kubuka mataku pagi ini, kecupan sayang dari suamiku membangunkanku.
“Selamat ulang tahun sayang...” bisiknya lembut saat kubuka
mataku. Wajah manisnya begitu dekat dengan wajahku sehingga aku bisa
menyentuhnya.
“Memangnya hari ini ulang tahunku?” tanyaku seraya bangkit
dari lelapku, dengan dibantu tangan kekarnya aku memperbaiki posisiku.
“Ini hadiah dariku, semoga kau berkenan menerimanya.” Katamu
sambil memberiku sebuah bingkisan kecil. Sesaat aku tercenung, mengapa ada
bersitan pilu di hatiku?
“Kirana, ada apa?” Tanyanya seraya mengecup lembut pipiku.
Aku mengeleng, tidak.. dia tidak perlu tahu kenapa.. sementara anganku kembali
pada kejadian beberapa tahun yang lalu, di hari yang sama persis seperti hari
ini dan angan itu bermuara pada hal-hal yang kulalui setelah itu sebelum
kujumpa pak dokterku yang baik ini.
***
Keenan, beberapa tahun yang lalu, aku terus mencarimu,
menanyakan keberadaanmu kepada orang-orang yang mengenalmu. Tapi tak sedikitpun
informasi yang aku dapatkan. Aku frustasi, bahkan beberapa kali keluar masuk
rumah sakit karena keadaan tubuhku yang semakin melemah. Kala itu hanya Ibu
yang mampu menenangkanku, menyemangatiku hingga akhirnya sedikit demi sedikit
aku bisa bangkit. Dokter yang merawatku pada saat itu juga menyarankan aku
untuk menenangkan diri sejenak dengan mengunjungi tempat-tempat yang aku sukai,
atau melakukan hal yang bermanfaat bagi orang lain. Bahkan dokter tersebut juga
mengajakku untuk travelling bersama. Ya, profesinya sebagai seorang dokter
ternyata tak cukup baginya, di sela-sela kesibukan yang super padat, ia masih
menyempatkan diri untuk melakukan perjalanan ke berbagai tempat.
Setelah kejadian itu, aku dan dokter tersebut mulai intens
dalam berkomunikasi. Namanya Dokter Rangga, usianya hanya terpaut empat tahun
di atasku. Senyumku seketika kembali, semangatku kembali seperti sedia kala.
Mungkin memang sudah takdir, rencana Tuhan itu Maha Baik. Beberapa bulan
setelah perkenalan Rangga melamarku, keluargaku menyambutnya dengan sukacita.
Aku bahagia sekaligus trauma, takut bila pernikahanku kembali mengalami
kegagalan.
Ah, tapi itu hanya pikiran kotorku saja, segera kutepis
pikiran tak baik itu. Bila saja tak ada lelaki bernama Rangga, entah bagaimana
kelanjutan hidupku ini. Rasanya tak berlebihan bila ia kujuluki sebagai
malaikat. Tuhan mengirimkan "malaikat" untuk hidupku, yaitu sesosok
lelaki yang tak pernah aku sesali keberadaannya. Rangga Sastrowardoyo.
***
Nama Anggota :
Putri Apriani
Bunda Syafni Nengsih
Bunda Doinya Thamrin
good post
BalasHapusTerima kasih hadirnya Pak :)
Hapus