Semangkuk Soto untuk Ibu

Berkenalan dengan Kuliner “Aneh” Khas Temanggung

Sore itu sepulang kerja aku mendapati tubuh lemah ibuku terbaring di atas kasur, ada ayah dan kakakku yang mendampinginya. Tubuhnya kini seperti tulang yang hanya dibalut kulit tipis, kurus sekali, padahal sebelumnya ibu tergolong gemuk, keriputnya juga makin melebar, bicaranya tersendat-sendat.

"Pa..nas.. badan Ibu panas." Kata Ibu seraya mengusap-usapkan wajah dan sekujur tubuhnya. Ayah dengan sigap mengipasi ibu dengan kipas rotan agar tetap berada di suhu yang stabil.

Ibu memang tak menjalani kemo walau kanker payudaranya sudah mencapai stadium 3B, pengangkatan salah satu payudara pun sudah dilakukan setahun yang lalu. Dengan berbagai pertimbangan, ibu ingin menjalani pengobatan alternatif saja.


Dari obat berupa jamu-jamuan yang ibu minum, menimbulkan rasa panas yang luar biasa. Ah, aku seringkali acuh, bahkan seperti tak punya hati nurani. Seringkali kami terlibat selisih paham belakangan ini, ya, mungkin aku memang anak durhaka.


***

Malam selepas magrib, aku, kakak, beserta adikku berkumpul di kamar ibu. Ibu menasihati kami agar tetap dan lebih hidup rukun. Tak terasa air mata menetes di mata kami, satu persatu. Kakakku tampaknya menyembunyikan air matanya dengan memalingkan wajahnya ke arah jendela, adik mematung di hadapan ibu, sementara aku segera berlari ke toilet. Bodoh, mengapa baru sekarang hatiku mencair?!! Batinku meronta. Aku sayang ibu tapi aku tak mampu mengatakannya! Aku menghapus satu persatu bulir air mata yang memenuhi pipiku. Mencoba tegar di antara godam-godam yang bersarang di dadaku, sesak rasanya.

Aku mendatangi kembali ibuku, lantas berkata, "Bu, maafkan aku, selama ini banyak sekali melakukan dosa pada Ibu." Sontak, tangis kami pecah, di antara suara-suara jangkrik yang sedang bernyanyi.


Malamnya aku mendapat giliran menjaga ibu. Baru kali ini aku merasa benar-benar dekat kembali dengan ibu. Sekali lagi aku merasa bodoh, kemana saja aku selama ini? Kulihat ibu tak bisa memejamkan mata. Biasanya aku suka menanyakan perihal popoknya, apakah ingin diganti atau tidak. Namun tadi sore sepupuku yang juga seorang perawat memasang kateter pada saluran kencing ibu.

***

Masih kuingat, kemarin sore ibu memintaku untuk membelikannya seporsi soto ayam yang kedainya berada di dekat kantorku. Tapi sayang, aku tak sempat membelikannya karena pada saat itu aku harus segera pulang, mengingat kondisi ibu yang semakin mengkhawatirkan. Dokter sudah angkat tangan atas keadaan ibu, katanya "tinggal tunggu waktu saja." Persetan dengan itu semua. Hei, kau bukan Tuhan yang tahu kapan ajal menjemput ibuku!

Pernah suatu ketika aku sedang menggantikan popok ibu, ibu berkata padaku "maafkan Ibu ya Ndhuk, selama ini Ibu banyak salah sama kamu, waktu Ibu sudah nggak lama lagi." 


Aku tertunduk, menghela napas, kemudian mendongakkan kepalaku seraya berkata, "Ibu kenapa ngomongnya begitu? Umur itu cuma Allah yang tahu, Bu." Kami terdiam, susasana mendadak hening.

***

Hari ini adalah hari ibu, semangkuk soto ayam aku hidangkan pagi ini di meja makan, semangkuk soto ditambah dengan satu sendok air mata, juga satu centong rindu dan doa. Semangkuk soto ini sengaja aku buat untuk mengenang kepergian ibu. 


Bahkan semangkuk soto tak dapat aku penuhi hingga ajal datang menjemputnya.. 




Ilustrasi Gambar : dokumentasi pribadi

Komentar

  1. Jadi inget, dua hari sebelum pergi, ibuku beliin aku t-shirt. Sehari sebelum beliau pergi, t-shirt itu kupakai tapi ibu nggak sempat lihat karena ibu ke sekolah lebih pagi dan aku harus ke Surabaya untuk lomba cerdas cermat.

    Waktu pulang malamnya, aku udah nggak bisa ketemu ibu lagi, sudah dibawa ke UGD, semalam an di sana dalam keadaan nggak sadar dan akhirnya pulang ke keabadian.

    Kasusnya sama... Kanker. Cuma yang merenggut nyawanya justru stroke pas lihat aku lomba di TV dan kalah di babak pertama. Sampai sekarang masih nyesek kalau inget.

    BalasHapus
  2. Haduh Bu Dyah Rina, mbak Putri cerita kehidupannya demikian memilukan. Semoga Allah membalas kesabarannya dengan pahala berlimpah aamiin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bu Fabina, duh maaf sebelumnya ya Bu, sejujurnya saya nggak bermaksud 'mengumbar kisah hidup' saya, makanya cerita ini saya jadikan cerpen yang notabene adalah fiksi. Tapi kok banyak yang tau kalo ini kisah nyata ya? Hhehe..

      Aamiin yra, terima kasih ya Bu :)

      Hapus
  3. InsyaAllah diberikan tempat yang terbaik disisi Allah SWT, amin

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nostalgia pada Sebungkus Es Mambo

Kumpulan Fiksi Kilat (6 Kata)