Lelaki Tua dan Sepertiga Malam

[FR] Lelaki Tua dan Sepertiga Malam
Pada sepertiga malam, ada lelaki tua tetap teguh mengayuh onthelnya. Bulan hampir saja karam, ayam sebentar lagi kan terjaga. Dingin malam yang menyapa, tak membuat lelaki tua itu kalah. Usianya memang sudah tak muda lagi, tetapi tubuh ringkihnya masih saja tegar, semangatnya masih terus berkobar. Baginya bulan ramadhan ataupun bukan, adalah sama. Sama-sama harus menahan haus dan lapar. Makannya tak bertambah banyak, terkadang sehari hanya makan sekali, atau bahkan tidak sama sekali.
Seminggu menjelang Idul Fitri, lelaki tua tampak kebingungan, memikirkan istrinya – yang sedang sakit – yang entah akan makan apa nanti. Ketupat lebaran beserta opor ayam rasanya bagai makanan super mewah, ia tak mampu, walau hanya sepotong ketupatpun.
Pada sepertiga malam, ia tak pernah lupa bermunajat pada Sang Khalik, mensyukuri segala yang telah diberi, walau hanya berupa napas yang masih dapat ia hirup hingga detik ini. Lelaki tua itu, entah masih seberapa banyak lagi stok kesabaran yang masih ia simpan. Ia selalu yakin bahwa Allah Maha Adil.
Selepas tahajud, air putih – untuk sahur – telah  terhidang di meja makan, dua gelas saja cukup untuk menyiram tenggorokannya yang kering. Kemudian ia bergegas menuju pasar – tak lupa mencium kening istrinya yang telah lima puluh tahun lebih setia menemani – melakukan apa yang bisa dilakukan, mendapatkan apa yang bisa didapatkan, termasuk sayuran sisa, asal halal, ia dan istrinya tak akan sakit perut, dan yang jelas mereka berdua terbebas sementara dari rasa lapar.
Pada sepertiga malam ia mengayuh onthelnya, sambil memikirkan keinginan istrinya, yang sebenarnya sederhana : sebuah mukena yang tak robek, sebuah mukena yang tak harus baru. Entah kapan janjinya akan ia tepati, ia hanya mampu mengangguk dan mengatakan “sabar, pasti akan aku belikan.”
Lelaki tua, tak lelah menyusuri jalan, walau terik, walau alas kaki semakin menipis. Dari kejauhan, tak jauh dari rumahnya, ia melihat seorang anak lelaki tergeletak tak sadarkan diri, dengan sekuat tenaga yang ia punya, ia membawa anak lelaki itu ke rumahnya. Entah apa yang dialami anak yang usianya sekitar dua belas tahun ini, beberapa bagian tubuhnya tampak memar, ketika ditanya “apa yang terjadi dengan kamu, Nak?” Anak itu hanya terdiam, dan menggeleng. Begitu seterusnya ketika lelaki tua mulai bertanya, mencari tau tentang jati diri anak tersebut. Hingga akhirnya lelaki tua memutuskan untuk mengantarkan anak itu ke kantor polisi.
***
Suara takbir berkumandang, lelaki tua dan istrinya pun melafalkan takbir dari dalam gubuk reyot mereka, rumah terindah yang pernah mereka miliki sepanjang hidup. Dan bunyi ketukan pada pintu membuat mereka sedikit terkejut, pada ketukan yang ke tiga, lelaki tua beranjak, mencoba melihat siapa yang berada di balik pintunya.
Seorang anak lelaki yang wajahnya pernah ia kenal bersama sepasang suami istri, tampaknya mereka adalah sebuah keluarga yang harmonis. Lelaki tua menanyakan perihal maksud kedatangan mereka. “Aku Rasyid, Kek, yang pernah kakek tolong seminggu yang lalu.”
“Iya, aku ingat.” Ujar lelaki tua setelah beberapa lama berpikir.
Lalu obrolan berlanjut, tampak begitu hangat. Ternyata Rasyid adalah korban penculikan yang berhasil lolos. Dan ayahnya adalah pendiri sebuah panti asuhan yang terkenal dermawan. Dalam kesempatan tersebut, ayah Rasyid menyerahkan beberapa paket sembako, beberapa pasang pakaian, uang tunai, juga keperluan lain untuk lelaki tua dan istrinya.
Lelaki tua dan istrinya menangis haru. Ah, rezeki memang datang tak terduga. “Besok kau bisa pakai mukena baru.” Ucap lelaki tua sambil mengedipkan mata kepada istrinya.
Istrinya tersenyum. “Terima kasih sudah menepati janjimu.”
“Bukan aku, tapi Allah yang telah menepati janji-Nya, pada sepertiga malam itu..”

Diikutsertakan dalam Event Fiksi Ramadhan

Komentar

  1. mas Ryan, mau tisue nggak buat menghapus air matanya he he he

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bu Fabina, buat saya aja deh bu tisunya, kebetulan lg flu :D

      Hapus
  2. Ngenspiratiff.....
    di lapak sebelah sudah nangkring di artikel HL

    BalasHapus
  3. Pak Pical, wehehe cerita kek gini kok bisa nangkring di HL ya? hhe :D

    BalasHapus
  4. Rasanya jarang banget ada fiksi tentang lelaki tua bangkotan yang kaya raya.. hihihi... saya selalu menganggap 8 jam tidur pas buat istilah malam hari. jadi bingung kalau membagi 8 jam buat ngitung sepertiga malam... 8 x 60 menit : 3 = 160 menit.
    ikannya tadi saya kasih makan lagi mbak puput... ^_^

    BalasHapus
  5. Pak Agung, huehehe, lelaki tua ini gag kaya raya kok pak, malah miskin banget, tp di akhir cerita lelaki tua dapat rezeki melimpah dr seorang dermawan berkat doa dan kebaikannya :)

    Klo soal itung-itungan saya nyerah ah, wkwkwkkw :D

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nostalgia pada Sebungkus Es Mambo

Kumpulan Fiksi Kilat (6 Kata)