Nama dalam Sebait Doa

1428121501251159680

“Kamu harus minta kejelasan Put!”

Pernyataan Lidia barusan kedengarannya seperti mendesak. Putri tertunduk lemas, meletakkan secangkir teh yang sudah tak terlalu panas. “Aku nggak tau harus bilang apa sama dia, Lid.”

“Ya udah, kamu tanya aja ke Fahmi, tentang kejelasan hubungan kalian, mau dibawa ke mana? Temenan aja? Atau mau ke arah yang lebih jauh? Pacaran misalnya, atau mau langsung nikah aja sekalian? Kan kalian udah kenal cukup lama, udah tau karakter masing-masing, tunggu apa lagi?” Jelas Lidia panjang lebar sambil bergaya ala petinggi yang sedang berorasi.

Tak ada jawaban dari Putri, wajahnya menjelaskan tentang kegundahan. Sepasang sahabat itu tenggelam dalam keheningan. Hanya tersisa rintik hujan yang menari dari balik jendela kamar Putri.
Sepertinya memang benar apa yang dikatakan Lidia, cinta harus punya kejelasan. Ini soal hati juga soal penantian.
***

Waktu mengalir seperti biasanya. Namun ada gejolak rasa yang semakin hari semakin tak biasa. Gejolak di hati Putri, entah bagaimana dengan hati Fahmi. Hubungan mereka semakin dekat, percakapan yang tadinya hanya tegur sapa biasa, sekarang menjadi menu wajib bagi mereka berdua. Dari pagi, siang, sore, malam, begitu seterusnya secara berulang, setiap hari. Namun, tak ada pertemuan lagi setelah pertemuan pertama mereka yang secara tak sengaja di salah satu Perpustakaan di pusat kota. Putri gamang, hatinya sudah terlanjur menetapkan satu nama.

Kau itu serupa puisi
Tak mudah bagiku untuk memahami kedalaman hatimu.

***
“Udah beberapa bulan ini Fahmi tiba-tiba aja menghilang.” Ungkap Putri kepada sahabatnya, Lidia.

“Udah lah Put, cowok kayak gitu nggak usah kamu pertahanin lagi. Kamu terlalu buang-buang waktu buat dia.”

“Tapi Lid, aku bener-bener sayang sama Fahmi, dia beda dibanding cowok-cowok lain.”

“Sayang sama Fahmi bukan berarti kamu nggak bisa buka hati buat cowok lain kan?” Lidia menutup majalah yang sedang ia baca, kemudian meneruskan kalimatnya.. “Kenapa sih kamu nggak coba nerima Rivan? Atau Bobby? Keliatannya mereka beneran sayang sama kamu.”

Putri menatap sahabatnya itu. Lagi-lagi bibirnya seakan terkunci rapat ketika mendengar Lidia berbicara. Sahabatnya memang orang yang suka bicara ceplas-ceplos. Tapi Putri tahu, maksud Lidia pasti baik. Lidia hanya tak ingin Putri tersakiti.

Namamu mengalir dalam bait-bait puisi yang kuciptakan
Pun dengan doa-doa yang kupanjatkan
Untuk sebuah nama yang selalu kusebut dalam syair dan doa
: Fahmi

***
PING!!!

Putri membuka ponselnya. Wajahnya mendadak ceria setelah melihat satu nama yang sudah tak asing lagi, yang selalu Putri nantikan hadir. Fahmi..!!

“Put, aku pengen ketemu kamu.”

“Fahmi, kamu kemana aja selama ini?”

“Put, aku bisa jelasin, tapi nanti ya setelah kita ketemu.”

Putri membalas pesan Fahmi. Tak ada alasan untuk menolak ajakannya.


Kafe Dedaunan, sore hari

“Ada permasalahan yang menimpaku beberapa bulan belakangan ini Put.”

“Kenapa kamu nggak cerita? Seperti biasa. Aku akan dengar semua cerita kamu.”

“Maaf Put, untuk kali ini aku nggak bisa.”

Putri menghela napas. “Iya, aku tahu, aku bukan siapa-siapa.”

“Aku Cuma butuh waktu untuk merenung. Memikirkan apa perasaan ini pantas aku utarakan kepada gadis yang aku suka Put, bahkan aku begitu sayang dia.”

Putri tercekat mendengar ada gadis lain yang Fahmi sukai bahkan dia sayangi. Iya semestinya aku sadar dari awal, cinta ini hanya bertepuk sebelah tangan.

“Put, aku terlalu takut, tapi aku coba untuk memberanikan diri.”

“Aku berharap kamu bisa melakukan yang terbaik, Mi.”

“Iya, ini sudah aku pikirkan sejak lama Put. Semoga kamu berkenan. Aku mau bertemu Ayahmu. Aku mau minta ijin untuk melamar putrinya.”

“Maksud kamu apa? Kamu bercanda?!” Ucap Putri tak percaya dengan ucapan lelaki yang duduk di depannya.

“Siapa lagi? Ayahmu hanya punya satu anak perempuan kan? Aku pikir kita udah saling kenal. Aku nggak mau nunggu lama lagi. Kamu ngerti kan maksudku?”

Mata Putri berkaca-kaca, wajahnya memerah. Doa-doanya selama ini dikabulkan oleh Tuhan. Ya, dia bahagia sekarang, bersama Fahmi yang kelak akan menjadi suaminya.


Karena bukan jutaan rayuan yang akan aku cari,
aku hanya butuh hati yang pasti untuk kutemui pada beranda jiwaku.
Jangan pula kau rangkaikan cinta,
bila kau tak mampu tuntaskan rindu yang terlanjur menjadi dahaga

***

Cerita ini diikutsertakan dalam event PDKT yang diselenggarakan oleh Fiksiana Community pada tanggal 4-5 April 2015

Beli gorengan di Bekasi
Pulangnya beli baju warna biru
Harganya oh murah meriah
Selamat menempuh hidup baru
Semoga sakinah, mawwadah, warahmah

Ilustrasi Gambar : Dua Sejoli dan Miracle of Love

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nostalgia pada Sebungkus Es Mambo

Kumpulan Fiksi Kilat (6 Kata)