[Kartini] Anak Haram

1429503786230045549

“Dasar anak haram!”

Lagi-lagi seorang perempuan berusaha menjauhkan anaknya dari Adinda. Adinda hanyalah seorang belia berusia sembilan tahun, bahkan dia tak mengerti apa arti sesungguhnya ‘anak haram’ tersebut. Adinda hanya bisa tertunduk lemas, terdiam, dan bahkan terkadang menangis pilu.


Sesampainya di rumah, pertanyaan yang sama selalu saja meluncur dari bibir mungil Adinda. “Bu, anak haram itu apa? Kenapa Adinda nggak punya Bapak?”

Ibunya hanya mampu mengusap-usap kepala anaknya, menghapus air matanya juga mata Adinda dengan penuh sendu. Ia tak mampu menjelaskan, mungkin belum waktunya. Hatinya masih belum kuat bila mengingat kejadian sepuluh tahun lalu.

***

Kinanti. Waktu itu usianya masih sembilan belas tahun. Cantik, lugu, pintar, juga ramah, membuat ia digandrungi banyak lelaki. Setiap harinya Kinanti berjualan Sego Gudangandan dawet ayu di Pasar Ngupit, Klaten, Jawa Tengah.

Sejak pagi buta Kinanti dan Ibunya mempersiapkan bahan-bahan yang akan dibawa. Sego Gudangan Kinanti memang begitu laris, rasanya lebih enak dan gurih dibandingkan dengan Sego Gudangan lainnya. Ditambah dengan wajah ayu dan senyum ramah Kinanti, membuat para pembeli menjadi betah untuk kembali makan di sana. Belum lagi setelah makan, lidah para pembeli juga dimanjakan dengan manisnya es dawet ayu yang begitu segar.

Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Tiba-tiba saja wajah Kinanti mendadak kuyu, senyumnya seperti lenyap begitu saja, perutnya terlihat semakin membesar. Ibunya menaruh curiga pada Kinanti, lalu dengan penuh kehati-hatian Ibunya bertanya,

“Nak, apa ada yang kau sembunyikan dariku?”

Kinanti menggeleng.

“Siapa ayah dari bayi dalam kandunganmu, Nak?”

Kinanti tak mampu menjawab, hanya air mata yang berurai yang menjelaskan perasaannya saat ini.

Hari, minggu dan bulan berlalu, perut Kinanti kian membesar, tak dapat ditutupi lagi dengan apapun. Bapaknya yang baru saja mengetahui hal tersebut, langsung murka terhadap Kinanti.

“Berani-beraninya, Kinanti! Tega kamu mencoreng nama baikku! Mau ditaruh mana muka bapakmu ini?!!”

“Sabar Pak, dengarkan penjelasan anakmu dulu.” Bujuk ibu sambil menenangkan suasana.

“Aku diperkosa, Pak.” Jawab Kinanti lirih.

“Siapa yang memperkosa kamu hah?!”

“Pak Karmin, Kepala Desa yang selalu bapak agung-agungkan itu.”

“Ndak mungkin! Beliau orang terhormat! Ndak mungkin beliau tega berbuat keji seperti itu terhadapmu! Mulai sekarang, kamu pergi dari rumah ini! Dan jangan anggap lagi aku ini sebagai bapakmu! Pergiii..!!” Ucap bapak dengan penuh amarah, wajahnya merah sekali seperti kerasukan setan, bahkan usapan lembut ibu di punggung bapak, tak berhasil mengendalikan amarah bapak.

Kinanti mengemas beberapa bajunya, hanya beberapa baju dan beberapa lembar uang saja, hasil ia berdagang tempo hari. Ia kemudian bersujud, memohon ampun seraya mencium kaki ibunya. “Bu, maafkan Kinanti, sudah mempermalukan ibu.”

Ibu mengangguk, berlinang air mata. Tangan kecilnya mengangkat kedua bahu Kinanti. “Sudah Nak, ibu sudah memaafkan kamu. Kamu mau ke mana?”

“Izinkan Kinanti pergi, Bu. Asalkan bapak senang. Di sini Kinanti hanya menyusahkan bapak dan ibu saja.”

Dengan berat hati, ibunya pun segera melepaskan Kinanti pergi. Dan, ketika Kinanti hendak keluar rumah, mobil Pak Karmin terhenti di halaman rumah, beliau keluar mobil dan tersenyum licik.

Laknat kau Kepala Desa! Batin Kinanti merasa jijik.

**

Jakarta Convention Centre
Selamat kepada wisudawati dengan nama Adinda Hermatriani, yang lulus cumlaude dengan IPK 3,94.

Adinda kemudian memeluk ibunya – Kinanti. Tangis haru mereka berdua pecah diantara ribuan wisudawan dan wisudawati lainnya.

“Terima kasih Bu, sudah menjadikan Dinda seperti sekarang ini.” Ungkap Adinda seraya menatap wajah ayu ibunya. Ibunya masih tampak begitu ayu di usianya yang hampir berkepala empat.

Kinanti mengangguk. Memeluk anaknya penuh bangga.

Ibuku, entahlah orang mau berkata apa tentangmu. Benar, bahwa pendidikanmu tak tinggi. Benar bahwa aku lahir tanpa ada seorang suami yang mendampingimu. Tapi yang aku tahu, perjuanganmu begitu besar. Perjuanganmu yang membiarkan aku tetap bermukin di perutmu selama Sembilan bulan, membiarkan aku lahir, hidup dan tumbuh sebagai wanita seutuhnya, tanpa kekurangan kasih sayang sedikitpun. Dan aku sungguh bangga memiliki ibu sepertimu. Biarlah mereka yang tak pernah mengenal hidup kita, Bu. Namun, dalam lubuk hatiku yang terdalam, kaulah Kartiniku, putri sejatiku, perempuan terhebatku, malaikat tak bersayapku, dan kaulah Anugerah Terindah yang Pernah Kumiliki.

Anakmu, Adinda Hermatriani

*

Catatan : Sego Gudangan adalah nasi yang dicampurkan dengan aneka sayuran diberi bumbu parutan kelapa, taburan bubuk kedelai pedas, kremesan tempe atau bisa juga disiram dengan sambal lethok (tahu yang diberi kuah santan yang dicampur tempe bosok) biasanya dibungkus menggunakan daun jati atau daun pisang. Sego Gudangan merupakan salah satu kuliner khas Klaten, Jawa Tengah.

*Cerita ini adalah fiktif belaka, bila ada kesamaan dengan nama tokoh dan tempat, adalah unsur ketidaksengajaan.

Cerita Mini ini diikutsertakan dalam Event Kartini - Rumpies The Club

Sumber Ilustrasi : Ibu dan Anaknya

Komentar

  1. Baru tante lis lho yang bilang 'apik' hihihihhiii.. :D

    BalasHapus
  2. Keren ceritanya. Bikin kita yakin nggak ada anak haram. Semua anak terlahir suci.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bu Fabina, tapi judulnya provokatif ya bu? hehe.. betul semua anak lahir dalam keadaan bersih, tanpa dosa, makasih atensinya ya bu ;)

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nostalgia pada Sebungkus Es Mambo

Kumpulan Fiksi Kilat (6 Kata)