Retak


Aku berteriak. Kau tak mendengarnya. Kaca tebal ini menjadi penghalang sekaligus menyiksaku. Aku bisa melihat segala aktifitasmu setiap saat, hanya saja menyentuhmu aku tak mampu. Kugedor berkali-kali, tetap saja kau tak menengok ke arahku. Kuambil sebuah batu besar guna menghancurkannya, tapi semuanya sia-sia. Ingin rasanya ku memanjatnya, tapi ujung dinding kaca itu sejauh mata memandang. Mana mungkin aku sanggup memanjatnya.

Barangkali tiada yang lebih kokoh daripada dinding ini
: dinding hatiku yang terlanjur dingin
Mungkin kamu telah mencobanya?
Menaklukannya?
Berhasilkah?
Seringkali semuanya berakhir sia-sia
Setelah berlama-lama usahaku tak membuahkan hasil, ide cemerlang kudapat. Aku harus meninggalkanmu sekarang, bukan untuk pergi, tapi untuk menjemputmu dari belahan bumi yang berlawanan. Bukankah bumi itu bulat, Sayang? Jika aku menjauhimu, aku akan menemukanmu dari sisi sebelah sana. Aku percaya itu. Tunggu aku sebentar, Sayang. Aku yakin usahaku kali ini pasti berhasil.


Sayang katamu?
Hei, apakah kamu lupa?
Benar, dulu hatiku ini hanya milikmu
Bukan yang lain
Kemudian tanpa alasan, kamu tinggalkanku
Dengan goresan luka yang masih menganga
Aku sakit
Aku sendiri
Di mana kamu saat itu?


Retak
Aku memungut kepingan hati yang kau pecahkan malam itu
Tertatih aku 
Merangkainya kembali menjadi puzzle yang utuh
Tahukah kamu?
Adakah kamu kala itu?

Apa yang kau lakukan? Aku mengitari bumi demi menjemputmu, tapi kau tak pernah menghargai perjuanganku, Sayang. Apa yang kulihat kini jauh lebih buruk dari apa yang kulihat dari balik dinding kaca yang tebal dulu. Siapa dia? Tangan siapa yang kau rengkuh itu?


Kini kamu katakan bahwa kamu mencariku lagi
Ingin kembali padaku lagi?
Ketika waktu telah sekian lama memasung cintaku
Cinta yang dibiarkan tak bertuan


Maaf aku mati rasa padamu
Aku lupa bagaimana lagi caranya untuk mencintaimu
Jutaan ton cinta yang pernah kau titipkan padaku 

Telah aku bunuh dan aku makamkan di tanah yang tandus

Ini lebih sia-sia dari sekedar memecahkan kaca, Sayang. Bahkan justru hatiku kini yang kau pecahkan.


Maaf, aku tak punya banyak waktu
Biarkan aku menggenggam tangannya
Bukan lagi tanganmu
Biarkan aku berlalu darimu
Karena aku telah terbiasa

Tanpamu

**

Makkah & Pinggiran Jakarta, 12 April 2016

Karya kolaborasi prosa dan puisi: Ami Abeb (prosa) dan Putri Apriani (puisi), diikutsertakan dalam event Bulan Kolaborasi RTC.


Sumber Ilustrasi: Retak

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nostalgia pada Sebungkus Es Mambo

Kumpulan Fiksi Kilat (6 Kata)