Dua Bocah yang Bertarung dengan Matahari
Dua anak lelaki tampak
berjalan tertatih dengan wajah murung. Ayah mereka baru saja meminta kedua
anaknya itu untuk segera datang ke arah lampu merah sekitar 500 meter dari
rumahnya – melakukan aktivitas seperti biasa – mengamen atau mengemis atau apa
saja yang bisa menghasilkan uang. Untuk setelahnya uang-uang tersebut digunakan
sang Ayah untuk menarik hati wanita-wanita muda, tentunya wanita yang tergiur
dengan harta duniawi. Miris memang. Kenyataan hidup yang begitu pahit harus
mereka telan sehari-harinya.
Mereka baru saja pulang sekolah, kulit serasa mengelupas akibat panasnya terik matahari. Perut meronta menahan lapar, bibir kering, tenggorokan berteriak meminta setetes air. Namun apalah daya, satu rupiah pun tak mereka miliki.
Mereka baru saja pulang sekolah, kulit serasa mengelupas akibat panasnya terik matahari. Perut meronta menahan lapar, bibir kering, tenggorokan berteriak meminta setetes air. Namun apalah daya, satu rupiah pun tak mereka miliki.
“Kak, haus..” Ungkap Gani pada Ridwan.
“Kakak juga haus, tapi kita harus ngamen dulu.” Bujuk Ridwan pada anak lelaki yang usianya terpaut tiga tahun di bawahnya.
Perjalanan mereka lanjutkan, naik turun angkutan umum sudah dilakukan lebih dari lima kali. Tapi uang yang mereka dapatkan baru tiga lembar uang seribuan.
“Gimana, Kak?”
Ridwan menggeleng. “Uangnya masih belum cukup.”
Mereka mendekati penjual es buah. Aneka buah berwarna warni, aneka sirup, serutan es batu, ah semuanya seakan mengajak mereka untuk segera menenggak es buah yang segar itu.
“Kita harus ngamen lagi biar bisa beli es buah, satu gelas buat berdua, cukup kan?”
“Nggak beli dua gelas aja, Kak?”
Ridwan berpikir sejenak. Di gerobak es buah tertulis harga satu porsinya adalah tujuh ribu.
“Nggak mungkin, kita kan harus setor juga ke Ayah.”
Gani mengangguk, lalu menundukkan kepalanya.
“Kak, itu apa?”
“Mana?”
Ridwan mengambil
sebuah dompet berwarna merah yang berisi puluhan uang ratusan ribu. Tangannya
gemetar. Dalam hatinya berkecamuk, apakah
harus ia gunakan uang dalam dompet tersebut untuk membeli dua gelas es buah?
Dan juga mengambil beberapa lembar uang untuk ia setorkan pada Ayahnya?
“Kak……”
“Eh, ehhm.. Iya..”
“Gimana?”
“Gimana apanya?”
“Dompet itu..” Ucap Gani sambil menunjuk dompet merah yang masih berada dalam genggaman Ridwan.
“Kita harus cari siapa pemilik dompet ini.”
“Kenapa nggak kita pake aja uangnya buat beli es, Kak?”
Ridwan menggeleng. “Ibu nggak pernah ngajarin kita begitu, paham?”
Gani terdiam sambil menyentuh bibirnya yang makin mengering. Kemudian dilihatnya sang Kakak sedang memberikan dompet itu kepada seorang wanita yang tengah kebingungan mencari sesuatu.
“Mbak, kehilangan dompet?” Tanya Ridwan pada perempuan tersebut.
“Iya, Dek, kok kamu tahu?”
“Yang ini kan?”
“Iya betul, ini dompet saya. Terima kasih ya..”
“Iya Mbak, sama-sama.”
Ridwan kembali ke arah Gani yang masih memandangi gerobak es buah. “Dompetnya udah Kakak kembaliin.”
Gani mengangguk, pandangannya juga belum berpaling ke arah lain.
“Lho, adek-adek kenapa masih ada di sini?” Perempuan pemilik dompet merah tadi bertanya pada Gani dan Ridwan. “Kalian mau minum es buah?” Lanjut perempuan tersebut.
Spontan, Gani mengangguk dengan penuh semangat. Diikuti dengan anggukan Ridwan yang juga tak kalah semangatnya.
“Tunggu di sini ya.. Kakak belikan dua gelas untuk kalian.”
Dua bocah duduk di dekat penjual es buah, melihat si penjual meracik es buah pesanan mereka.
“Es buahnya udah Mbak bayarkan ya, ini uang buat kalian, terima ya, sebagai ucapan terima kasih dari saya.”
Dua kakak beradik itu memasang tampang melongo. “Beneran, Kak?” Tanya Gani polos.
“Iya, ini untuk kalian, diterima ya.”
“Makasih, Kak.” Ucap mereka kompak.
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan?*
Bahkan nikmat seteguk es buah yang menyegarkan di siang hari, menuntaskan dahaga yang sedari tadi berteriak itu pun patut disyukuri.
“Lupakan dulu soal Ayah, nikmati saja es buah segar ini.” Ucap Ridwan pada adiknya, dilanjutkan dengan tawa bahagia dari dua bocah yang baru saja bertarung dengan panasnya ibu kota.
Sumber Ilustrasi : Dua Bocah
*QS Ar-Rahman
“Kak……”
“Eh, ehhm.. Iya..”
“Gimana?”
“Gimana apanya?”
“Dompet itu..” Ucap Gani sambil menunjuk dompet merah yang masih berada dalam genggaman Ridwan.
“Kita harus cari siapa pemilik dompet ini.”
“Kenapa nggak kita pake aja uangnya buat beli es, Kak?”
Ridwan menggeleng. “Ibu nggak pernah ngajarin kita begitu, paham?”
Gani terdiam sambil menyentuh bibirnya yang makin mengering. Kemudian dilihatnya sang Kakak sedang memberikan dompet itu kepada seorang wanita yang tengah kebingungan mencari sesuatu.
“Mbak, kehilangan dompet?” Tanya Ridwan pada perempuan tersebut.
“Iya, Dek, kok kamu tahu?”
“Yang ini kan?”
“Iya betul, ini dompet saya. Terima kasih ya..”
“Iya Mbak, sama-sama.”
Ridwan kembali ke arah Gani yang masih memandangi gerobak es buah. “Dompetnya udah Kakak kembaliin.”
Gani mengangguk, pandangannya juga belum berpaling ke arah lain.
“Lho, adek-adek kenapa masih ada di sini?” Perempuan pemilik dompet merah tadi bertanya pada Gani dan Ridwan. “Kalian mau minum es buah?” Lanjut perempuan tersebut.
Spontan, Gani mengangguk dengan penuh semangat. Diikuti dengan anggukan Ridwan yang juga tak kalah semangatnya.
“Tunggu di sini ya.. Kakak belikan dua gelas untuk kalian.”
Dua bocah duduk di dekat penjual es buah, melihat si penjual meracik es buah pesanan mereka.
“Es buahnya udah Mbak bayarkan ya, ini uang buat kalian, terima ya, sebagai ucapan terima kasih dari saya.”
Dua kakak beradik itu memasang tampang melongo. “Beneran, Kak?” Tanya Gani polos.
“Iya, ini untuk kalian, diterima ya.”
“Makasih, Kak.” Ucap mereka kompak.
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan?*
Bahkan nikmat seteguk es buah yang menyegarkan di siang hari, menuntaskan dahaga yang sedari tadi berteriak itu pun patut disyukuri.
“Lupakan dulu soal Ayah, nikmati saja es buah segar ini.” Ucap Ridwan pada adiknya, dilanjutkan dengan tawa bahagia dari dua bocah yang baru saja bertarung dengan panasnya ibu kota.
Sumber Ilustrasi : Dua Bocah
*QS Ar-Rahman
Tega banget orang tuanya.
BalasHapus"Memeras" anak sendiri ya bu? :(
Hapuspengen ngamuk aja rasanya kalo ada ortu durhaka ke anak seperti itu...
BalasHapusDi sekitaran saya masih cukup banyak orang tua yang seperti itu bu :)
Hapus...meski keliatannya kisah fiksi, cerita seperti ini memang benar ada...
BalasHapusKurang lebih begitu mas :)
HapusMba Put mmng paling bs kl nulis fiksi yg menyentuh emosi
BalasHapus(C)
Karena pas nulisnya pun pake emosi Pak, hehe :D
HapusFiksi ilustrasi yg juara... Keren say... Salam Rumpies!
BalasHapusMbak Fitri, nggak sampe HL kok #eh :D
HapusBapaknya minta dikaplok pake parang... >_<
BalasHapusParang mana parang #eh #mendukung :D
HapusSubhanallah pelajaran yg sangat berharga tentang kejujuran
BalasHapusTerima kasih hadirnya ya, salam :)
Hapus