[Cerpen] The Unspoken



Teras Rumah, Pukul 06.00,
Randi tengah merapikan kemeja dan celana panjangnya, rambutnya dibiarkan begitu saja tanpa disisir terlebih dahulu, sementara tangannya kemudian mengambil sepasang casual boots berwarna cokelat yang tergeletak di teras, tepatnya persis di depan pintu masuk.

Semalam ia pulang amat larut sehingga lupa memperhatikan sepatunya, apakah sudah berada pada tempat semestinya atau tidak. Tidurnya hanya terhitung beberapa jam, itupun tergolong tak nyenyak, tubuhnya terasa pegal-pegal untung saja ia masih bisa bangun untuk melaksanakan sholat subuh walau tak dilakukan secara berjamaah di masjid terdekat. Seporsi sandwich telah berada di sakunya, "mempersingkat waktu sarapan", menurutnya. Pagi ini Randi harus sampai di kantor lebih awal karena ada beberapa hal yang harus ia persiapkan untuk keperluan meeting.

Meeting selesai, semua berjalan dengan baik. Tapi seperti ada yang mengganjal di hati Randi, entah apa. Ia masih menerka-nerka.

**

Kamar Allysa, Pukul 19.05,
Kamu, hai kamu! Apa kabarmu? Lama tak bersua, ke mana perginya kabarmu? Tertelan bumi? Atau aku sudah tak layak lagi menerimanya? Hai kamu, aku rindu!

Allysa tengah menuliskan kata demi kata di selembar kertas, ketika hujan turun. Alhamdulillah hujan, batin Allysa sambil menghirup bau petrichor yang begitu ia suka. Sebagian orang memanfaatkan hujan untuk mengingat kenangan-kenangan yang pernah terukir indah di waktu yang lalu. Sebagian lagi memanfaatkannya untuk berdoa, karena doa yang tak akan ditolak salah satunya adalah doa ketika hujan. Dan Allysa adalah bagian dari keduanya. Ada sosok yang belakangan ini tak pernah luput dari hatinya, ialah Randi, laki-laki yang baru dikenalnya beberapa bulan lalu, namun walau begitu ia merasa telah lama mengenal Randi. Kejadian demi kejadian yang ia lewati bersama Randi seperti sudah pernah ia lakukan sebelumnya. De Javu.

Hujan membuat ingatan Allysa berlari pada sebuah momen. Kala itu, sore sepulang dari kantor, hujan turun dengan sangat lebat. Allysa yang lupa membawa payung akhirnya memilih berteduh pada sebuah halte. Di waktu yang bersamaan, Randi yang kebetulan bekerja di kantor yang jaraknya tak jauh dari kantornya, juga memilih berteduh di tempat yang sama.

"Loh, nggak naik mobil kantor, Sa?" Randi yang kebetulan baru saja tiba dan melihat Allysa langsung memulai percakapan.

"Nggak, lagi pengen mampir gue. Lo sendiri nggak bawa kendaraan?"

"Nggak ah, capek! Kalo naik angkutan umum kan gue bisa tidur." Ucap Randi, dengan nada santai.

Allysa tertawa, "hahaha, iya juga ya."

"Eh, by the way tadi lo mau mampir ke mana?" Randi bertanya lagi.

"Mau ke toko Kue Laksmi, gue ditunggu temen gue di sana, lo mau ikut, Ran?" tanya Allysa tanpa ragu.

"Di mana?"

"Itu loh yang di Jalan Aruna."

"Oh, boleh deh, kebetulan gue juga mau beli sesuatu buat nyokap."

Hhmm, anak yang baik. Batin Allysa. Seandainya dia....

"Eh, Sa. Ujan udah reda nih, naik bus yang itu kan?" Panggilan Randi membuyarkan lamunan Allysa, telunjuk Randi tengah mengarah pada bus berwarna biru dengan tujuan terakhir yaitu Jl. Aruna.

Di dalam bus, Randi tak melakukan kebiasaannya, yaitu tidur. Dia justru banyak berbincang dengan Allysa, lebih tepatnya banyak memasang telinga untuk gadis berhijab merah yang duduk di sebelahnya, karena pada kenyataannya Allysalah yang banyak bercerita kepada Randi.

Mereka berdua sebenarnya tak terlalu akrab, mereka mulai mengenal ketika mereka sering makan siang di kantin yang sama, duduk di meja yang sama, memulai obrolan secukupnya, kemudian kembali ke kantor masing-masing.

Sesampainya di toko Kue Laksmi, Allysa langsung bertemu dengan temannya yang sudah lebih dari 20 menit menunggu. Sementara Randi asik sendiri memilih-milih kue yang akan ia berikan untuk ibundanya.

Singkat, namun begitu berkesan. Setelah kejadian tersebut, mereka berdua semakin intens bertemu, bertukar kabar, dan ada sesuatu yg berbeda. Entah di hati keduanya, atau hanya di salah satunya saja.

Hanya saja, semua berubah ketika Allysa dipindahtugaskan ke luar kota. Semenjak itu pula, intensitas komunikasi mereka mulai berkurang, sementara rindu semakin bertambah setiap harinya. 

** 

Toko Bunga, Enam Bulan Kemudian.
Randi terlihat tengah memilih-milih buket bunga. Matanya berkeliling melihat bunga yang satu ke bunga yang lainnya. Sebuah buket bunga mawar putih dengan nuansa biru putih akhirnya terpilih. Senyumnya merekah.

Diam-diam Allysa memperhatikan Randi dari kejauhan. Mawar putih? Itu kan bunga kesukaan gue. Masa sih Randi tau, tau dari mana? Ah, tapi pasti bukan buat gue. Batin AllysaRandi meneruskan langkahnya. Kali ini ke sebuah tempat yang tak pernah terpikirkan oleh Allysa.

"Sa, apa kabar? Lama nggak ketemu lo, gue rindu. Andai aja lo tau perasaan gue. Andai aja gue nggak takut untuk ngomong jujur ke lo. Ah, tapi semuanya udah terlambat." Randi terisak. Tangannya meletakkan buket mawar putih pada gundukan tanah yang baru saja ia taburi bunga-bunga lainnya.

Sebentar, ada yang perlu aku ambil. Sebuah sapu tangan, atau cukup dengan jemariku saja? Ada yang mengalir di dahimu, aku perlu menyekanya. Ah, nyatanya menetes juga dari matamu. Air mata bukan hanya milik perempuan saja, bukan?

Allysa heran melihat tingkah Randi, makam siapa yang Randi datangi? Lalu mengapa Randi menyebut nama panggilannya? Allysa semakin penasaran, kakinya mendekat ke arah Randi, ia mencoba menyapa Randi namun tak ada respon. Lalu ia semakin mendekat, dan ia semakin dibuat terkejut ketika ia melihat sebuah nama yang tertulis di papan nisan yang berada tepat di depan Randi. "Itu namaku!" 

**

Cerpen ini kami (Desol, Lilik, Putri) buat untuk mencumbui rindu.
Oktober 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nostalgia pada Sebungkus Es Mambo

Kumpulan Fiksi Kilat (6 Kata)