Renjana dan Dua Cangkir Kenangan



Satu jam yang lalu aku bertengkar, bertengkar pada kata-kata yang ingkar. Seperti bayanganmu yang masih saja ingkar pada janjinya, janjinya yang tak akan terus datang mengganggu setiap mimpi-mimpiku.

Aku berjalan ke sebuah meja yang letaknya berada di paling ujung. Di sana aku dan kamu biasa menghabiskan waktu bersama, saling bercerita, saling melemparkan senyum. Kita tak pernah kehabisan topik pembicaraan, dan hanya ada satu yang dapat menghentikannya, suara pramusaji yang berteriak bahwa kedai kopi sebentar lagi akan ditutup, karena waktu sudah larut malam.

Kini, kedai kopi tampak sepi, secangkir matcha latte dan secangkir affogato kesukaanmu juga tak senikmat dahulu. Mungkin aku yang lupa, bahwa apapun akan terasa nikmat bila berada di sampingmu, bila melihat senyummu.

Mengingatmu, sama saja halnya seperti aku mengorek luka lama yang telah mengering. Melupakanmu adalah hal tersulit yang mungkin pernah aku lakukan. Jika melupakanmu adalah hal sulit, maka melupakan kenangan tentang kita seperti dirasa sesuatu hal yang mustahil.

Langit yang begitu gelap tampaknya mampu mewakili perasaanku. Tetesan air dari atas sana nyatanya mampu menghasilkan air pula yang menetes dari sela-sela mataku. Lagi-lagi hujan membuatku terpental pada masa lalu.

Kala itu, entah apa yang tengah merasukimu. Kamu seperti bukan kamu yang aku kenal. Kamu pada kala itu lebih mirip binatang buas yang hendak menerkamku. Kamu tampak ingin membunuhku, dengan sebilah pisau dan segenggam cinta yang kamu lemparkan tepat di depan wajahku.

"Katakan padaku siapa lelaki itu, Re!" kamu berteriak keras. Padahal kamu tahu aku paling tak suka dihardik.

Lalu aku menjawab diiringi dengan tangisan, "aku bilang dia hanya temanku, Kla, tak lebih dari itu."

"Kamu bohong, Re!" sebuah tamparan keras mendarat di pipiku. Perih. Wajahmu tampak beringas, tak percaya apa yang baru saja aku katakan. 

“Sudah cukup, tinggalkan aku, Kla, jangan pernah temui aku lagi.”

“Re, aku tak bermaksud seperti itu,” ucapmu tampak menyesali perbuatanmu.

“Tinggalkan aku, Kla, sekarang juga, aku tak mau melihatmu lagi.”

Katamu, kamu terbakar cemburu, kamu terlalu dalam mencintaiku, kamu hanya takut kehilanganku, kamu hanya tak ingin aku dimiliki oleh lelaki lain. Kamu mengatakannya berulang kali. Tetapi bagiku cinta tak begitu, tak akan menekan apalagi menyakiti.

Semenjak itu, aku memutuskan untuk tak menemuimu lagi. Beberapa pesan dan telepon darimu masuk ke dalam ponselku, aku tak membalasnya, aku sengaja mengabaikannya agar cinta yang kita miliki dapat memudar secara perlahan.

Namun kamu tak patah semangat, kamu berulang kali memintaku untuk menjadi milikmu lagi, tapi lagi-lagi aku tak menanggapinya. Membiarkan cinta kita menguap menjadi kenangan.

**
“Kla!” Aku berlari ke arahmu, kamu tampak merentangkan tanganmu, menyambutku dengan tatap penuh rindu.

“Re, aku merindukanmu.”

“Aku juga, sangat amat merindukanmu, Kla,” ucapku dengan napas terengah.

“Maafkan aku, Re.”

Tak ada yang perlu dimaafkan, Kla,” pelukanmu begitu erat, erat sekali, hingga aku sesak, sesak sekali. Dan aku...

Kla! Aku terbangun dari tidurku. Tanganku mencoba menghapus peluh yang mengalir di sekujur tubuhku. Bersua denganmu lagi, dan ternyata hanya lewat mimpi. Mengapa kamu begitu rutin mengunjungiku akhir-akhir ini, setelah ratusan hari berlalu? Ah, andai kamu tahu betapa sulitnya melepaskanmu dari pikiranku. Tidakkah kamu tahu bahwa ini merupakan hal yang menyesakkan bagiku?

Aku beranjak dari tempat tidur kemudian menuju kursi yang letaknya tak jauh dari jendela. Beberapa tahun lalu, di kursi ini aku terbiasa menunggumu datang, menatapmu dari kejauhan, hingga mobilmu terparkir di depan teras rumahku, dan kita membaur dalam dekapan yang hangat.

Mataku tengah menatap jendela, ketika sebuah pesan masuk ke dalam ponselku. Dari Indri, sepupu Kla yang tak lain adalah teman lamaku.

(( Renjana, semalam Kla mengalami kecelakaan tunggal, dan nyawanya tak dapat tertolong lagi, aku mohon maafkan segala kesalahannya, Re. ))

Aku membacanya berulang kali, berharap apa yang aku baca adalah salah, berharap apa yang aku baca adalah mimpi, seperti mimpi-mimpi tentangmu yang menghiasi tidurku belakangan ini. Tanganku gemetar tak karuan.

**
“Kla, masih mencintai kamu, Re. Sampai akhir hayatnya, dia tak pernah mencintai perempuan lain selain kamu,” suara Indri memecah keheningan. Sementara aku kembali menaburkan bunga di tempat peristirahatan Kla yang terakhir.
“Sungguh?” aku bertanya lebih dalam.

“Iya, aku tahu betul siapa Kla,” ujar Indri, yakin.

Aku menatap Indri, keadaan kembali hening.

“Dan kamu, kamu juga masih mencintai Kla kan?”

“Entahlah,” aku mengangkat bahuku. “Hanya saja dia sering datang ke dalam mimpiku akhir-akhir ini,” lanjutku menjelaskan.

“Kla begitu ingin kembali padamu, hanya saja dia takut kamu masih membencinya. Padahal aku tahu, kalian masih saling mencintai,” ujar Indri kemudian berjalan pergi, meninggalkanku, Kla dan keheningan yang abadi.

Aku pasti merindukanmu, Kla, merindukan senyummu untuk temaniku menikmati secangkir matcha latte yang aku rasa sudah tak senikmat dulu. Kla, kamu tahu? Ada satu pekerjaan yang paling menyebalkan namun begitu sering dilakukan – mengingat mantan – mengingat kamu.

*) 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nostalgia pada Sebungkus Es Mambo

Kumpulan Fiksi Kilat (6 Kata)